Konstruktivisme dalam pendidikan
Konstruktivisme adalah suatu
filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari
konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan
mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan
lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat
berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno,
2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer
begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan
sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi
merupakan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktifan
dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Berbicara tentang
konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog
pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut
Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget
dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget
adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi
dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup,
demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman,
tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang
untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema
pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total.
Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis
maupun pengalaman mental.
Sebenarnya prinsip-prinsip
konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika.
Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi
kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan
matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :
a. Pengetahuan dibangun oleh
peserta didik secara aktif.
b. Tekanan dalam proses
belajar terletak pada peserta didik.
c. Mengajar adalah membantu
peserta didik belajar.
d. Tekanan dalam proses
belajar lebih pada proses, bukan hasil.
e. Kurikulum menekankan
partisipasi peserta didik.
f. Guru adalah fasilitator.
Berkaitan dengan
diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang
memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri
kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme
tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap
harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik,
lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak
dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari
harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak
jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan,
maka muncullah salah pengertian atau konsep alternatif. Dalam hal seperti ini
diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan
mengatasinya.
Menurut
pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri-ciri :
1) Tujuan
pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar.
2) Pengetahuan adalah non-objective, selalu
berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret,
aktivita skolaborative, refleksi serta interpretasi. Si belajar memiliki pemahaman
tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya
individualistic.
3)
Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut, si belajar bebas,
kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang
si belajar.
4) Dalam strategi pembelajaran, lebih
diarahkan untuk meladeni pandangan pebelajar. Aktivitas belajar lebih
didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses.
5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna,
menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan
bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses
Secara sederhana dapat disimpulkan, filsafat konstruktivisme beranggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia menkonstruksi
pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman
dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu
dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai.
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan
sains dan matematika, namun demikian sekarang prinsip-prinsip tersebut dapat
diterapkan ke dalam semua mata pelajaran. Dan berkaitan dengan diberlakukannya
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan
kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum
pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat
menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya serta mewujudnyatakan dalam
pembelajaran.
Namun tetap harus diperhatikan bahwa model
pembelajaran konstruktivistik ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat dan
didukung oleh institusi pendidikan yang berwawasan luas, Institusi pendidikan
harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar dengan menyiapkan
sarana-prasarana, lingkungan, SDM dan elemen pendukung lainnya. Semua elemen
didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil
optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.