Daftar Menu


video pembelajaran

Sabtu, 27 Desember 2008

Metakognitif dalam Pemecahan Masalah

1. Pembelajaran Matematika
a. Belajar
Menurut Witherington (1952) belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru yang berbentuk ketrampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Crow and Crow (1958) yang mendefinisikan belajar sebagai diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap baru. Sedangkan menurut Hilgard (1962) belajar adalah suatu proses dimana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi.
Definisi belajar menurut Winkel (1996) adalah aktifitas mental atau psikis yang berlangsung interaksi aktif yang menghasilkan perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan ini bisa hasil baru atau penyempurnaan terhadap hasil yang diperoleh dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-nilai sikap. Perubahan ini bersifat konstan dan berbekas.
Menurut Muhibbin Syah (2001) belajar pada dasarnya dapat dipahami sebagai tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sedangkan menurut Nana Sudjana (2000) belajar pada hakekatnya adalah sebagai inti dari proses pembelajaran yaitu suatu proses perubahan tingkah laku melalui berbagai pengalaman yang dilakukan bukan mengingat maupun menghafal.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa belajar adalah merupakan aktifitas mental yang menghasilkan suatu perubahan pada suatu individu, baik itu merupakan hasil yang baru atau penyempurnaan dari hasil yang diperoleh sebagai akibat interaksi dengan lingkungan atau situasi. Hasil perubahan tersebut berupa pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan sikap yang bersifat permanen dan terus menerus.
b. Matematika
Menurut Johnson dan Myklebust (1967), matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah unuk memudahkan dalam berpikir. Lerner (1988) mengemukakan bahwa matematika disamping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan gagasan atau ide mengenai elemen dan kuantitas.
Hakekat matematika menurut Herman Hudoyo (1979) adalah berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis dan juga berkenaan dengan konsep-konsep abstrak. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian matematika adalah merupakan bahasa simbolis yang mengekspresikan ide-ide, struktur, atau hubungan yang logis ternasuk konsep-konsep abstrak sehingga memudahkan manusia untuk berpikir.
c. Belajar Matematika
Menurut Dienes (1963) belajar matematika melibatkan suatu struktur hirarki dari konsep-konsep tingkat yang lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Jadi, asumsi ini berarti bahwa belajar konsep-konsep matematika tingkat lebih tinggi tidak mungkin bila prasyarat yang mendahului konsep-konsep itu belum dipelajari.
d. Belajar memecahkan masalah
Belajar memecahkan masalah (problem solving) menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang ada disertai proses analisis dan penyimpulan. Tipe belajar ini sangat diperlukan penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar problem solving ini kemampuan penelaran anak dapat berkembang.
Kegiatan belajar memecahkan masalah ini biasanya meliputi lima langkah yaitu: (1) mengidentifikasikan masalah; (2) merumuskan dan membatasi masalah; (3) menyusun pertanyaan-pertanyaan; (4) mengumpulkan data; dan (5) analisis dari sejumlah permasalahan belajar tersebut, sehingga dapat merumuskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting mengenai belajar serta penarikan kesimpulan.

2. Pelatihan Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika
a. Pengertian Kemampuan Metakognitif
Metakognisi berarti apa yang kita ketahui tentang apa yang diketahui (Halpern, 1984: 15). Metakognisi merupakan refleksi terhadap pikiran, berfikir terhadap pikirannya sendiri (Janssens & de Klein, 2005: 73). Menurut Flavell (1985: 104), disebut metakognisi karena makna intinya adalah “cognition about cognition” atau berfikir terhadap proses berfikirnya sendiri. Metakognisi mencakup pengetahuan dan aktivitas kognitif yang menjadikan aktivitas kognitif itu sebagai objeknya. Metakognisi berarti pengetahuan seseorang tentang proses kognitif dirinya sendiri dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti pengetahuan tentang informasi dan data yang relevan. Flavell mengemukakan konsep tentang kemampuan metakognitif sebagai pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman metakognitif (metacognitive experience).
Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan dan keyakinan yang terhimpun melalui pengalaman kognitif seseorang dan tersimpan dalam memori jangka panjangnya. Pengetahuan metakognitif dapat bersifat deklaratif, yaitu seseorang mengetahui bahwa (knowing that) atau bersifat prosedural, yaitu seseorang mengetahui bagaimana (knowing how), atau kedua-duanya. Pengetahuan metakognitif seseorang dapat dibagi menjadi pengetahuannya tentang pribadi, tugas-tugas dan strategi. Kategori pribadi meliputi pengetahuan dan keyakinan yang berkaitan dengan seperti apa seseorang itu. Pengetahuan dan keyakinan tentang perbedaan kognitif pada diri seseorang, pengetahuan dan keyakinan tentang perbedaan kognitif diantara orang-orang dan pengetahuan dan keyakinan tentang kesamaan kognitif diantara semua orang. Kategori tugas dapat dibedakan menjadi pengetahuan seseorang tentang ruang lingkup informasi yang dijumpainya dan pengetahuan yang berhubungan dengan tugas-tugas kognitif. Kategori strategi meliputi pengetahuan seseorang tentang strategi yang bisa mencapai suatu tujuan kognitif, misalnya strategi untuk memecahkan suatu masalah. Pengetahuan metakognitif seseorang pada dasarnya merupakan kombinasi dari atau interaksi diantara dua atau tiga kategori ini. Pengetahuan ini seringkali teraktifkan secara otomatis, dan tidak diaktifkan secara sengaja melalui deteksi pengenalan dan proses respons yang sesuai terhadap situasi kognitif yang telah dikenalnya.
Pengalaman metakognitif merupakan pengalaman kognitif dan afektif yang berkenaan dengan usaha kognitif. Sebagai contoh, siswa yang kemudian menyadari bahwa ia tidak memahami soal cerita yang telah dibacanya dapat memacu beberapa tindakan adaptif seperti membaca kembali, berfikir ulang tentang apa yang berhasil dipahaminya, atau meminta penjelasan pada orang lain. Pengalaman metakognitif turut memberikan kontribusi informasi tentang pribadi, tugas-tugas dan strategi pada pengetahuan metakognitif seseorang. Terlihat bahwa pengetahuan metakognitif, pengalaman metakognitif dan perilaku kognitif secara konstan saling menginformasikan dan saling memunculkan selama pengerjaan suatu tugas kognitif.
Dalam kaitannya dengan pemecahan masalah, Kramarski dan Mevarech (2003: 284) berpendapat bahwa pengetahuan tentang proses pemecahan masalah, dan kemampuan untuk mengontrol dan mengatur proses pemecahan masalah merupakan pengetahuan metakognitif secara umum. Menurut Schoenfeld (1992: 347), pengetahuan seseorang tentang proses berfikirnya sendiri termasuk dalam pengetahuan metakognitif. Selanjutnya, Schoenfeld mengemukakan konsep metakognisi Flavell dalam pengertian yang bersifat fungsional, yaitu: 1) pengetahuan deklaratif seseorang tentang proses kognitifnya, 2) prosedur pengaturan diri sendiri, mencakup monitoring dan pengambilan keputusan langsung, dan 3) keyakinan dan kesungguhan serta pengaruhnya terhadap unjuk kerjanya. Proses pengaturan diri mencakup a) memahami hakikat masalah sebelum mengusahakan solusinya, b) merencanakan pemecahannya, c) memantau atau memonitor apakah proses berjalan dengan baik sehingga solusi dapat tercapai, dan d) mengalokasikan data informasi atau memutuskan apa yang sebaiknya dikerjakan selagi berusaha memecahkan masalah tersebut.

b. Kemampuan Metakognitif Siswa Sekolah Dasar
Kemampuan metakognitif tumbuh dan berkembang seiring dengan pertambahan usia. Secara umum, kemampuan metakognitif mulai berkembang pada usia sekitar 5 hingga 7 tahun (Woolfolk, 2004: 292). Model Piaget tentang perkembangan intelektual menjelaskan adanya perkembangan, sehingga kecerdasan dibangun dalam suatu kurun waktu dalam rangkaian yang tersusun dari tahapan-tahapan yang saling terkait atau berhubungan, dan tiap tahap ini menentukan perkembangannya. Perkembangan ini merupakan proses fundamental dimana tiap elemen dari pembelajaran sebagai fungsi dari perkembangan secara keseluruhan. Sehingga, perkembangan intelektual seseorang menentukan apa yang bisa dipelajarinya pada taraf itu..
Menurut Piaget ada 4 fakor yang mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang yaitu: pengalaman, kematangan, transmisi sosial dan equilibrasi atau keseimbangan internal. Interaksi keempat faktor ini menjadi landasan bagi perkembangan intelektual atau konstruksi struktur mental seseorang.
Struktur mental atau struktur berfkir merupakan proses berfikir sebagai suatu fungsi yang terorganisir dan terkoordinir, melibatkan beberapa operasi yang satu sama lain saling tergantung sehingga membentuk struktur operasional. Struktur berfikir ini diperlukan untuk mengembangkan kemampuan penalaran. Seseorang tidak dapat membangun sruktur tertentu kecuali struktur prasyaratnya telah solid pada tempatnya. Proses perkembangan struktur berfikir dapat digambarkan sebagai berikut: siswa melakukan operasi terhadap objek yang dilakukan dengan bebas dalam waktu yang cukup, memberi kesempatan pada anak untuk melakukan internalisasi abstraksi, dimana terjadi proses saling menghubungkan atau mengkoordinasi dengan operasi lain dalam struktur berfikirnya.
Siswa SD di Indonesia umumnya berusia antara 6-12 tahun, dalam teori Piaget pada rentang usia 6-11 tahun mereka berada pada taraf berfikir operasional konkrit, dan pada rentang usia 11-12 tahun berada pada taraf berfikir operasional formal. Secara fungsional, berfikir formal dan berfikir konkrit pada dasarnya sama-sama menggunakan operasi logika. Hanya saja, kapasitas penerapannya dan jenis operasi logikanya berbeda. Anak dalam tahap berfikir konkrit belum mampu melakukan koordinasi terhadap operasi-operasi penalaran. Pada taraf berfikir konkrit, anak mampu memecahkan masalah-masalah konkrit dengan cara logis, mampu mengklasifikasi dan mengurutkan, serta memahami reversibilitas atau kebalikan. Karakter dasar pada taraf berfikir ini adalah, siswa mengetahui stabilitas logis dunia fisik, fakta bahwa elemen-elemen dapat diubah atau ditransformasikan dengan tetap menjaga karakter aslinya, dan perubahan-perubahan itu dapat dibalik. Operasi penting lainnya yang dikuasai pada taraf berfikir konkrit adalah klasifikasi. Klasifikasi bergantung pada kemampuan siswa untuk bisa fokus pada satu ciri tunggal. Dengan reversibilitas, siswa dalam tahap berfikir konkrit dapat mengetahui bahwa ada lebih dari satu cara untuk mengklasifikasi sekelompok objek. Pada akhirnya, siswa mengembangkan sistem berfikir yang komplit dan sangat logis. Namun demikian, masih terbatas pada realitas fisik yaitu berfikir pada hal-hal nyata yang dapat diinternalisasikan dan dipertimbangkan secara mental. Operasi pada tingkat berfikir konkrit tidak meluas pada pemikiran mengenai hipotesa atas ide-ide yang abstrak. Logika siswa didasarkan pada situasi konkrit yang dapat diorganisir, diklasifikasi dan dimanipulasi.
Kemampuan berfikir reflektif merupakan aktivitas yang menjadikan aktivitas mental itu sendiri sebagai objek yang disadari dan diperhatikannya. Sehingga penyelidikan atau pengamatan dilakukan terhadap sistem konseptual diri sendiri. Dalam hal ini, data-data yang diamati berada dalam benaknya sendiri, seseorang mengamati proses berfikir dirinya sendiri. Oleh karena itu, seseorang yang berfikir reflektif dapat menemukan penyebab kesalahan dalam cara berfikirnya, mampu memperbaiki kesalahan dalam cara berfikirnya atau kesalahan pada skema pemikirannya. Kemampuan reflektif ini masih terbatas dimiliki oleh kanak-kanak.
Anak-anak membangun kemampuan refleksi terhadap suatu materi dalam rentang usia 7-11 tahun dengan memanipulasi ide-ide konkrit dengan beragam cara. Anak-anak belum dapat bernalar secara formal, belum dapat berargumentasi berdasarkan suatu hipotesis jika hipotesis tersebut kontradiksi dengan pengalaman mereka. Berdasar penelitian, perkembangan kemampuan ini merupakan interaksi dari kemampuan dirinya dengan lingkungan, budaya dan pengalaman pendidikan.
Cara untuk mempelajari kemampuan reflektif antara lain dengan diskusi dan argumentasi. Seseorang dalam kegiatan ini berusaha merumuskan idenya secara jelas, terbuka atau eksplisit melakukan justifikasi dengan menunjukkan alasan-alasan logis, dengan demikian ia mengembangkan kemampuan refleksi pada skematanya. Komunikasi dipandang sebagai cara yang paling diminati untuk meningkatkan kemampuan berfikir reflektif, salah satu faktor yang terlibat disini adalah menghubungkan idenya dengan simbol, adanya interaksi ide sendiri dengan orang lain, kemudian seseorang dapat memperbaiki kelemahan dalam ide-idenya, dan berakhir dengan struktur yang lebih kuat dan lebih kohesif dibanding sebelumnya. Cara anak-anak bernalar atau berfikir masih didominasi oleh intuisinya. Dalam rentang usia ini kemampuan reflektif masih terbatas. Seseorang dapat mempelajari matematika pada tingkat intuitif jauh sebelum kita dapat memfungsikan tingkat reflektif, tentu saja hal ini membawa konsekuensi yang penting dalam pembelajaran matematika.
Ketika siswa belajar matematika masih berada dalam tingkat intuitif, ia sangat tergantung pada cara materi itu ditunjukkan padanya. Jika konsep yang baru diberikan terlalu jauh dari skemanya, ia mungkin tidak dapat mengasimilasikannya, khususnya bila tingkat penerimaan yang mungkin dengan intuisi lebih rendah daripada yang bisa dicapai oleh refleksi. Sehingga pada tahap awal, analisis konseptual oleh guru harus digunakan sebagai dasar untuk merencanakan presentasinya dengan seksama yang memungkinkan siswa dapat mensintesis kembali dalam pikirannya sendiri. Situasi yang terbentuk berupa pertanyaan yang bisa diajukan, penjelasan yang diberikan, seorang guru yang peka dapat memenuhi titik pertumbuhan dari skema siswanya, dan memberikan materi yang tepat pada saat yang tepat. Fleksibilitas dalam pendekatan ini menghasilkan ketuntasan pada subjek pebelajar daripada dengan pendekatan yang kaku menurut rencana, sebaik apapun rencana tersebut. Akhirnya, guru secara bertahap mengurangi ketergantungan siswa padanya. Begitu seseorang dapat menganalisa sendiri suatu materi baru, ia dapat menyesuaikannya dengan skemanya sendiri dalam cara yang paling bermakna baginya, yang mungkin saja berbeda dengan cara materi itu disajikan semula.
Oleh karena itu, guru hendaknya dapat menyesuaikan materi matematika dengan tahap perkembangan skema siswanya, ia juga harus menyesuaikan cara penyajiannya pada kecenderungan berfikir yang dikuasai siswanya. Kecenderungan penalaran intuitif dan konkrit saja, atau intuitif, konkrit dan juga formal. Dan akhirnya, guru secara bertahap meningkatkan kemampuan analitis siswa, sehingga siswa tidak lagi tergantung pada guru. Perkembangan kemampuan intuisi dan refleksi membentuk kemampuan berfikir secara formal.
Pada taraf berfikir formal, anak mampu bernalar secara ilmiah, melakukan pengujian terhadap hipotesis yang dibuatnya, dan mereka mampu merefleksikan suatu akibat melalui pemahaman yang dibangunnya dengan baik. Pada masa ini, mereka mulai mengembangkan penalaran dan logika untuk memecahkan berbagai masalah (Wadsworth, 1984: 138). Taraf berfikir operasional formal pada hakikatnya merupakan metakognisi, karena operasional formal melibatkan berfikir tentang proposisi, hipotesis dan membayangkan semua objek kognitif yang mungkin (Flavell, 1985: 104).



c. Pelatihan Metakognitif dalam Pemecahan Masalah
Menurut Kramarski dan Mevarech (2003: 283), kemampuan metakognitif dapat dikembangkan melalui pelatihan metakognitif berdasar pendekatan Polya dalam memecahkan masalah matematika. Secara umum, program ini melatih siswa yang belajar dalam kelompok kecil untuk merumuskan dan menjawab sekumpulan pertanyaan metakognitif untuk diri sendiri yang difokuskan pada: 1) ruang lingkup atau hakikat masalah, 2) konstruksi hubungan antara pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan baru, 3) penggunaan strategi yang sesuai untuk memecahkan masalah. Pertanyaan dirancang untuk membantu siswa agar menyadari proses pemecahan masalah yang ditempuhnya dan dapat mengatur sendiri kemajuan dalam proses pemecahan masalah tersebut. Kesadaran (awareness) dan pengaturan diri (self-regulation) adalah dua aspek penting dalam metakognisi.
Pelatihan metakognitif menggunakan tiga set pertanyaan metakognitif yang ditujukan untuk diri siswa sendiri, yaitu comprehension questions, strategic questions, dan connection questions (Kramarski dan Mevarech, 1997: 369). Pertanyaan pemahaman (comprehension questions) dirancang untuk mendorong siswa melakukan refleksi terhadap masalah sebelum memecahkannya. Dalam hal ini, siswa harus membaca kalimat soal, menjelaskan konsep yang relevan dengan kata-kata mereka sendiri, dan berusaha memahami makna dari konsep tersebut. Pertanyaan strategi (strategic questions) dirancang untuk mendorong siswa mempertimbangkan strategi mana yang sesuai untuk memecahkan atau untuk melengkapi masalah tersebut dan atas dasar alasan apa. Dalam hal ini, siswa diminta untuk menjelaskan pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana berkaitan dengan strategi yang dipilihnya. Apa strategi atau taktik atau prinsip yang bisa digunakan untuk memecahkan masalahnya, mengapa strategi atau taktik atau prinsip dipandang paling sesuai bagi masalah tersebut, dan bagaimana rencana yang bisa dilaksanakan. Pertanyaan koneksi (connection questions) dirancang untuk mendorong siswa memusatkan perhatian pada persamaan dan perbedaan antara masalah yang sedang dihadapinya sekarang dengan masalah yang pernah berhasil dipecahkannya.
Pertanyaan metakognitif dapat dituliskan pada kartu-kartu. Siswa menggunakan kartu ini selama latihan dan kegiatan diskusi berlangsung. Tiap siswa secara bergiliran berusaha untuk memecahkan suatu masalah dan menjelaskan jalan berfikirnya dengan menjawab pertanyaan yang tertera pada kartu-kartu tersebut. Ketika semua anggota diskusi telah sepakat dengan jawabannya, siswa yang lain berusaha memecahkan masalah dengan cara yang sama. Bila siswa gagal atau tidak tercapai kesepakatan, siswa mendiskusikan masalah tersebut dengan menggunakan pertanyaan metakognitif yang tertera pada kartu. Tiap kartu berisi tiga pertanyaan metakognitif yaitu: 1) pertanyaan pemahaman: apa masalahnya; 2) pertanyaan koneksi: apa perbedaan antara masalah yang dihadapi saat ini dengan masalah sebelumnya; 3) pertanyaan strategi: apa strategi atau taktik atau prinsip yang sesuai untuk memecahkan masalah ini.
Lester dan kawan-kawan pada tahun 1989 (Schoenfeld, 1992: 357) melakukan penelitian peranan pengetahuan metakognitif dan kontrol kognitif pada pemecahan masalah matematika siswa kelas tujuh. Pengajaran meliputi masalah-masalah rutin dan non rutin yang bertujuan untuk mendorong perkembangan metakognitif siswa. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini adalah: 1) guru berperan sebagai pemantau eksternal selama pemecahan masalah, 2) guru mendorong berjalannya diskusi yang mempertimbangkan pentingnya internalisasi keterampilan kognitif, 3) guru menjadi model perilaku eksekutif yang baik. Beberapa kesimpulan dari penelitian Lester, antara lain: terdapat interaksi dinamis antara konsep matematika dan proses pemecahan masalah yang melibatkan konsep tersebut. Akibatnya, kontrol terhadap proses dan perhatian terhadap proses kognitif berkembang bersamaan dengan pemahaman siswa terhadap konsep matematika. Pengajaran metakognitif akan sangat efektif bila mengambil konteks yang spesifik, juga pengajaran pemecahan masalah dan metakognitif akan sangat efektif bila diorganisasikan secara sistematis dibawah pengarahan guru.
Kramarski dan Mevarech (2003: 284) berpendapat bahwa metode pembelajaran yang berbeda dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pengetahuan metakognitif siswa. Dalam penelitiannya, pendekatan metakognitif dipadukan dengan beragam metode pembelajaran yaitu pendekatan metakognitif dengan pembelajaran kooperatif dan pendekatan metakognitif dengan pembelajaran individu. Hasilnya, kemampuan penalaran matematika siswa lebih baik dalam kondisi pembelajaran yang memadukan pendekatan metakognitif dan pembelajaran kooperatif.
Strategi pembelajaran matematika dengan menggunakan pelatihan metakognitif menurut Kramarski dan Mevarech (1997: 376) dapat dilakukan sebagai berikut: pada pertemuan pertama, siswa diajari cara menggunakan pertanyaan metakognitif dalam memecahkan masalah matematika. Sebagai tambahan, dalam setiap pertemuan, guru menyampaikan materi baru dengan menggunakan pertanyaan metakognitif. Guru mendorong siswa menggunakan pertanyaan metakognitif dalam kartu-kartu. Secara bergiliran, siswa dalam kelompok kecil menjawab pertanyaan metakognitif tersebut, bila muncul kesulitan, kelompok mendiskusikan masalah dengan tehnik pertanyaan metakognitif. Selama interaksi ini, siswa terdorong untuk mengartikulasikan penalaran matematikanya dan menggunakan bahasa matematika yang tepat dalam percakapan, tulisan dan bacaan. Ketika seorang siswa tidak menggunakan bahasa matematika dengan tepat, anggota kelompok lain akan membantunya


3. Cara berfikir
1) Pengertian Berfikir
Definisi berfikir menurut Bigot dalam Sumadi Suryabrata (2004:54) mengatakan bahwa berfikir itu adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita. Bagian-bagian pengetahuan –pengetahuan kita yaitu segala sesuatu yang telah kita miliki, yang berupa pengertian-pengertian dan dalam batas tertentu juga tanggapan-tanggapan. Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata (2004:5) Berfikir adalah proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.
Menurut Agus Sujanto (1981:64) Berfikir ialah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-hubungan antara ketahuan-ketahuan kita. Berfikir adalah suatu proses dialektis. Artinya, selama kita berfikir, fikiran kita mengadakan tanya jawab dengan fikiran kita, untuk dapat meletakkan hubungan-hubungan antara ketahuan kita itu, dengan tepat. Pertanyaan itulah yang memberi arah kepada fikiran kita.
Menurut Ngalim Purwanto(2006:43) Berfikir adalah satu keaktipan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Kita berfikir untuk untuk menemukan pemahaman / pengertian yang kita kehendaki. Ciri-ciri yang terutama dari berfikir adalah adanya abstraksi, dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa berfikir adalah suatu gejala jiwa yang merupakan proses menetapkan hubungan antara pengetahuan-pengetahuan yang kia miliki.
2) Proses Berpikir
Menurut Sumadi Suryabrata (2004:55) Proses atau jalan berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah yaitu:
a) Pembentukan pengertian
Pengertian atau lebih tepatnya disebut pengertian logis dibentuk melalui empat tingkat, sebagai berikut : (1) Menganalisis ciri-ciri dari sejumlah objek yang sejenis, (2) Membandingkan ciri-ciri tersebut untuk diketemukan ciri-ciri mana yang sama dan yang tidak, mana yang selalau ada dan yang tidak, mana yang hakiki dan yang tidak, (3) Mengabstraksikan yaitu menyisihkan, membuang ciri-cir yang tidak hakiki dan menangkap ciri-ciri yang hakiki.
b) Pembentukan Pendapat
Membentuk pendapat adalah meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subjek dan sebutan atau predikat.


c) Penarikan Kesimpulan atau Pembentukan Keputusan.
Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada. Ada tiga macam keputusan yaitu (1) Keputusan induktif, (2) Keputusan deduktif, (3) Keputusan analogis.
3) Beberapa Macam Cara Berpikir
Menurut pendapata Ngalim Purwanto(2006:47) terdapat beberapa macam cara berpikir yaitu:
a) Berpikir Induktif
Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju kepada yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat yang tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan bahwa ciri-ciri / sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena tadi.

b) Berpikir Deduktif
Sebaliknya dari berpikir induktif, maka berpikir deduktif prosesnya berlangsung dari yang umum menuju kepada yang khusus. Dalam cara berfikir ini, orang bertolak dari suatu teori ataupun prinsip ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan bersifat uumum. Dari situ ia menerapkan kepada fenomena-fenomena yang khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut.
c) Berpikir Analogis
Analogi berari persamaaan atau perbandingan. Berpikir analogis ialah berpikir dengan jalan menyamakan atau memperbandingkan fenomena-fenomena yang biasa / pernahg dialami. Didalam cara berfikir ini, orang beranggapan bahwa kebenaran dari fenomena-fenomena yang pernah dialaminya berlaku pula bagi fenomena yang dihadapi sekarang.
4) Perkembangan intelektual Siswa dalam Berfikir
Ruseffendi (1988:133) mengungkapkan empat periode perkembangan intelektual siswa dalam berfikir dan perubahannya terhadap usia, yaitu:
a) Periode Sensori motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini cara berfikir anak memperlihatkan objek yang biasa dikenalnya maka anak akan memperlihatkan tingkah laku yang seolah terjadi adanya pengertian terhadap objek tersebut. Relasi dalam bentuk primitif sudah dapat dilakukan anak. Yaitu hubungan yang ditimbulkan oleh gerakan suatu objek ddengan bunyi yang ditimbulkan. Anak belum mempunyai kesadaran penuh adanya konsep objek tetap, sehingga bila objek itu disembunyikan anak tidak akan mencari.


b) Periode Persiapan Operasonal (2 -7 tahun)
Pada tahap ini cara berfikir anak sudah dapat melakukan klasifikasi terhadap kesamaan objek. Namun belum dapat menentukan termasuk kelompok mana objek tersebut. Trial dan error yang kadang berhasil mengurutkannya dan bisa juga gagal, pada tahap ini anak dapat mengenalsimbol dari suatu benda.
c) Periode Operasi Konkret (7 -11 tahun)
Pada tahap ini cara berfikir anak sudah didasarkan pada berfikir matematis logis karena berfikirnya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek – objek kongkrit. Kemampuan klasifikasi anak sudah dapat memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan dan bagian secara simultan. Relasi berturut sudah dikuasai anak, sehingga ia dapat mengurutkan 10 tingkat menurut panjangnya melalui prosedur berencana dan bukan tral and error. Pada tahap ini anak telah mengenal bilangan dan dapat menyusun sebuah himpunan yang ekuivalen dengan contoh himpunan yang diberikan atau konsep suatu objek sudah dimengerti.
d) Periode Operasi Formal (13 – 15 tahun)
Anak pada tingkat operasi formal sudah mampu memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi dalam suatu situasi. Jika padanya diberikan problem, maka ia mulai mencoba menganalisis masalah itu dan berusaha mengembangkan hipotesis yang mungkin untuk menjawabnya. Anak juga telah mampu merencanakan dan melakukan eksperimen guna menguji hipotesis yang telah dibuatnya. Pada tahap ini anak mau berfikir kombinatorial bila anak dihadapkan pada masalah dapat mengisolasi faktor – faktor tersendiri atau atau mengkombinasikan faktor – faktor itu

Tidak ada komentar: