Daftar Menu


video pembelajaran

Senin, 14 Juli 2008

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan salah satu pilar upaya
peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Upaya peningkatan mutu
pendidikan adalah bagian terpadu dari upaya peningkatan kualitas manusia, baik
aspek kemampuan, kepribadian, maupun tanggung jawab sebagai warga negara.
Belajar mengandung dua pokok pengertian yaitu proses dan hasil belajar.
Proses belajar disini dimaknai sebagai suatu kegiatan dan usaha untuk mencapai
perubahan tingkah laku, sedang perubahan tingkah laku tersebut merupakan hasil
belaja. Hasil belajar dalam dunia pendidikan pada umumnya ditunjukkan dengan
prestasi belajar artinya bahwa keberhasilan siswa mencapai prestasi yang baik
pada pembelajaran matematika merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan
proses belajar mengajar matematika pula.
Prestasi yang dicapai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran
matematika pada umumnya dijadikan sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan
matematika itu sendiri. Sampai saat ini kondisi pengajaran matematika memang
belum seperti yang diharapkan, kritik dan sorotan masih dikemukakan, antara lain
adanya kemerosotan mutu lulusan yang ditandai dengan rendahnya prestasi
belajar siswa.
Menurut Soedjadi dalam Fauzan (2003) mengatakan bahwa kualitas
pendidikan matematika terutama di tingkat pendidikan dasar masih
memprihatinkan. Kondisi ini terefleksi tidak hanya dari hasil belajar siswa, tetapi
juga dari proses belajar mengajar. Kemudian menurut Fauzan (2003) ada
beberapa faktor penyebab terjadinya permasalahan dalam pendidikan matematika
di Indonesia terutama yang berkaitan dengan kurikulum dan proses pembelajaran.
Pada pelaksanaan pembelajaran matematika pada pokok bahasan perkalian
sering kali guru mangalami kesulitan dalam menyampaikan materi agar siswa
memperoleh konsep tentang perkaian secara benar. Umumnya siswa tidak pandai
dalam mengalikan bilangan.
Menurut Armanto (2001) kesulitan–kesulitan yang dialami oleh siswa di
sebabkan oleh beberapa hal: pertama, siswa tidak memahami definisi dan makna
perkalian. Hal ini berkaitan dengan perkalian sebagai konsep hitungan. Kedua,
siswa tidak hafal secara cepat perkalian bilangan 1 angka (1 hingga 9). Hal ini
berkenaan dengan kemampuan dan keterampilan mengalikan bilangan
(multiplication facts) secara siap pakai.
Secara umum telah terjadi kesalahan proses pembelajaran sehingga
menyebabkan kesulitan–kesulitan bagi siswa dalam suatu pokok bahasan dalam
matematika disebabkan beberapa hal, yaitu:
1. Proses pembelajaran matematika yang masih bersifat abstrak tanpa
mengkaitkan permasalahan matematika dengan kehidupan sehari–hari.
2. Motivasi belajar matematika siswa yang masih lemah karena ketidaktahuan
mereka akan tujuan mempelajari matematika.
3. Siswa tidak berani mengemukakan ide atau gagasan kepada guru.
4. Guru masih dominan dalam proses pembelajaran.
Kemungkinan–kemungkinan ini seharusnya menjadi perhatian yang lebih bagi
para pendidik dalam menyampaikan pelajaran matematika.
Mendasar pada penjelasan diatas maka mutu pendidikan terutama
pelajaran matematika yang merupakan ilmu dasar harus ditingkatkan salah
satunya dengan mengembangkan perangkat pembelajaran, karena perangkat
pembelajaran merupakan salah satu bagian dari proses belajar. Dalam
pelaksanaan pembelajaran perangkat pembelajaran sangat berperan penting.
Perangkat pembelajaran ini salah satunya adalah Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), dan didalam RPP salah satunya terdapat metode
pembelajaran.
Munculnya beberapa metode pembelajaran saat ini adalah upaya untuk
meningkatkan pembelajaran matematika. Salah satunya adalah metode
pembelajaran dengan pendekatan realistik, atau yang sering disebut sebagai
Realistic Mathematic Education (RME) atau biasa disebut Pendidikan
Matematika Realistk (PMR). Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan
metode ini, permasalahan matematika akan dijelaskan dengan menggunakan
media secara langsung atau dengan mengkaitkan permasalahan dengan kehidupan
sehari–hari. Selain itu pembelajaran matematika yang bersifat “guru menjelaskan,murid mendengarkan” akan diganti paradigma baru yaitu “siswa aktif
mengkontruksi”, guru sebagai fasilitator (membantu). Sehingga siswa akan
mendapatkan konsep matematika secara jelas dan benar. Hal inilah yang
kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pengembangan
perangkat pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan perkalian di
kelas IV SD 16 Muhammadiyah Surakarta.
B. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah memahami permasalahan serta mempermudah
pelaksanaan penelitian, maka perlu adanya pembatasan masalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini difokuskan pada pengembangan perangkat pembelajaran
matematika realistik.
2. Fokus bahasan yang akan dibahas adalah Operasi hitung pada pokok bahasan
perkalian.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka fokus
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah pengembangan dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran
matematika realistik pada pokok bahasan perkalian di kelas IV Sekolah Dasar
Muhammadiyah 16 Surakarta ?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam penelitian ini, tujuan yang
ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk : menghasilkan perangkat
pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan perkalian di kelas IV
Sekolah Dasar (SD).
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi penentu kebijakan diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai acuan dalam menentukan kebijakan selanjutnya di bidang pendidikan
pengajaran.
2. Siswa agar dapat belajar matematika dengan metode pembelajaran realistik
sehingga mereka lebih bisa menguasai pelajaran matematika khususnya pada
pokok bahasan perkalian.
3. Bagi peneliti untuk wahana uji kemampuan terhadap bekal teori yang
diperoleh di bangku kuliah serta upaya mengembangkan ilmu pengetahuan
tentang pengajaran berhitung.

BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan di bahas kajian pustaka, kajian teori, kerangka berfikir
dan hipotesis. Kajian pustaka adalah kajian hasil–hasil penelitian yang relevan
dengan masalah penelitian. Kajian teori yang akan dibahas adalah teori-teori yang
berkaitan dengan variabel penelitian. Kerangka berfikir adalah konsep dasar
untuk menjawab permasalahan yang diangkat dari kajian pustaka dan kajian teori.
Hipotesis merupakan rumusan tentang permasalahan yang diteliti atas dasar
kerangka berfikir yang telah dikemukakan.
A. Kajian Pustaka
Penelitian yang dilakukan tentang penggunaan pendekatan realistik
dalam pokok bahasan perkalian sebenarnya telah banyak dilakukan. Berikut
ini beberapa penelitian–penelitian yang telah dilakukan:
Hasil penelitian Armanto dalam Fauzan (2003) menyarankan untuk
menggunakan empat tahap rute belajar dalam pembelajaran topik perkalian di
kelas 3 dan 4 SD, yaitu penjumlahan berulang, perkalian dengan sepuluh,
perkalian dengan kelipatan sepuluh dan penggunaan algoritma. Tahap – tahap
ini akan bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman siswa, jika guru mampu
mendesain soal – soal kontekstual yang cocok untuk setiap tahap.
Penelitian Armanto dalam Sutarto Hadi (2003) tentang pengembangan
alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan
realistik di SD dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswadapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan
meggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang. Penelitian
Armanto dalam Sutarto Hadi (2003) juga menunjukkan bahwa siswa belajar
perkalian dan pembagian secara aktif, membangun pemahaman mereka
sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan
hasil (menyelesaikan soal) baik individu maupun kelompok. Kesempatan
siswa untuk belajar dalam situasi yang berbeda–beda mendorong mereka
menemukan kembali proses belajar .
Dani Kuswani (2005), mengungkapkan bahwa penerapan tindakan
pembelajaran melalui pendekatan RME mengakibatkan gairah siswa untuk
mengerjakan soal tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat
semakin meningkat, aktivitas belajar siswa dikelaspun cukup tinggi, dan
minat siswa untuk belajar matematika juga bertambah. Hal ini dapat dilihat
dari keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran dan motivasi siswa
untuk belajar sangat tinggi, siswa lebih mandiri dan terampil dalam
menyelesaikan soal serta rasa minder siswa untuk maju kedepan kelas sudah
berkurang.
Didik Pambudi (2003) dalam makalah seminarnya tentang penerapan
pembelajaran matematika diluar kelas dengan pendekatam realistik ternyata
mampu memberikan dampak positif pada perubahan sikap, meningkatkan
motivasi, kreatifitas dan hasil belajar siswa. Selain itu paradigma mengajar
dapat diubah menjadi paradigma belajar sehingga terjadi peningkatan proses
pembelajaran matematika.

Dari hasil penelitian–penelitian diatas, mendukung bahwa
pembelajaran matematika perlu adanya peningkatan. Selain itu penelitian–
penelitian di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran
yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar matematika
dapat dilakukan dengan beberapa tindakan dan metode yang berbeda sesuai
dengan situasi dan kondisi siswa. Melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran matematika dan mengkaitkan persoalan matematika dengan
kehidupan sehari–hari sangat penting karena dalam matematika banyak
pemecahan masalah yang menuntut kreatifitas siswa dan guru secara aktif.
B. Kajian Teori
Dalam kajian teori ini akan dibahas mengenai teori–teori yang
berkaitan dengan variabel penelitian. Variabel yang akan dibahas
pengertiannya antara lain:
1. Perangkat Pembelajaran
Perangkat dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
perlengkapan, sedangkan pembelajaran adalah usaha-usaha yang
terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses
belajar dalam diri siswa (Sadiman dkk, 2002:7). Jadi perangkat
pembelajaran dapat diartikan sebagai alat kelengkapan yang digunakan
untuk pembelajaran, tetapi karena dalam penelitian ini pembatasan
masalahnya hanya pada bahasan perkalian kelas IV SD maka perangkat
pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini juga dibatasi pada
tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini perangkat pembelajaran matematika yang
dimaksud adalah perlengkapan mengajar. Perlengkapan tersebut
diantaranya adalah buku pedoman guru, Lembar Kerja Siswa (LKS),
Lembar Tugas Siswa (LTS), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Peralatan ini akan dikembangkan untuk mendukung pembelajaran
matematika.
Buku pedoman guru berisi rangkuman tentang pembelajaran
dengan RME. Dengan adanya buku guru tersebut diharapkan dapat
membantu guru dalam mengajar dengan pendekatan RME. Lembar kerja
dan lembar tugas siswa berisi soal-soal realistik. Selanjutnya penyelesaian
soal diserahkan sepenuhnya terlebih dahulu kepada siswa agar siswa
semampunya dasar menyelesaian soal perkalian tersebut, setelah itu gurumengarahkan dengan memberikan penjelasan penyelesaian dengan cara
tepat.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan rencana dan
persiapan guru mengajar untuk tiap pertemuan. Fungsi RPP adalah
sebagai acuan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas agar
lebih efisien efektif dan terarah. Komponen RPP menuru Uzer Usman
(2000 : 61) adalah tujuan pembelajaran khusus, materi pelajaran, kegiatan
pembelajaran dan alat penilaian. Kegiatan pembelajaran yang
dipersiapkan guru harus sesuai dengan materi pelajaran dan konsep
permasalahannya. Guru juga harus mempersiapkan permasalahan realistik
untuk membawa siswa menuju pada materi pelajaran.
2. Matematika
Ada yang menyebutkan matematika sebagai studi deduktif dan ada
yang menyebutkan sebagai aktivitas manusia. Bila kita berpendapat
matematika itu sebagai studi deduktif, matematika sekolahnya lebih cocok
Matematika Modern dan teori belajar–mengajarnya Bruner. Sedangkan
bila berpendapat yang lainnya teori belajar–mengajar yang perlu dipakai
adalah teori belajar mengajar Perkembangan Mental dari Plaget atau
Kontrukstivisme. Dan matematika yang lainnya adalah PMRI (Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia).
Menurut Johnson dan Mykleburt dalam (Mulyono Abdurrahman,
1999: 252) mengemukakan bahwa matematika adalah bahasa simbolis
yang tinggi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungankuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk
memudahkan berfikir.
Helena panca (2003 :2) matematika adalah ilmu yang
diciptakan manusia. Manusia berpikir untuk menciptakana sesuatu
sesuai apa yang dilihat, dialami dan direncanakan dalam
kehidupan sehari-harinya. Jika tidak mungkin apabila matematika
itu tidak tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan
tidak berkembang.
Matematika timbul dari hasil pemikiran yang berhubungan dengan
ide, proses dan penalaran. Dalam mempelajari matematika sangat
diperlukan penalaran dan pengertian tidak cukup hanya dihafalkan. Jadi
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses
mempelajari matematika untuk mendapatkan pengetahuan. Dalam belajar
matematika selalu mementingkan proses dan pemahaman konsep tujuan
utama dapat tercapai.
3. Matematika Realistik
a. Pengertian Matematika Realistik
Matematika Realistik yang dimaksud dalam hal ini adalah
matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas
dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalahmasalah
realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsepkonsep
matematika atau pengetahuan matematika formal.
Pembelajaran Matematika Realistik di kelas berorientasi pada
karakteristik–karakteristik Realistic Mathematic Educatian (RME),
sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali
konsep–konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
13
Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep–
konsep matematika untuk memecahkan nasalah sehari–hari atau
masalah dalam bidang lain.
Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran
matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi
informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk
memecahkan masalah-masalah. Matematika realistik menggunakan
masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi
masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai dengan
pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah
dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal.
b. Ciri – Ciri Pembelajaran Realistik
Menurut Marpaung (2003) ciri–ciri RME adalah sebagai
berikut:
1) Siswa aktif dalam proses pembelajaran.
2) Pembelajaran dimulai dengan menyajikan kepada siswa masalah
kontekstual atau masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa.
Masalah itu dapat berupa masalah yang menyajikan real world
yang dijumpai dalam kehidupan nyata atau dunia nyata yang dapat
dibayangkan siswa.
3) Siswa diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah itu
berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
14
4) Guru membimbing siswa dalam menemukan atau
mengkontruksikan pengetahuan itu menuju pengetahuan formal.
5) Guru berperan sebagai fasilitator.
6) Dalam rangka menemukan itu proses matematisasi adalah penting,
level masalah perlu diperhatikan.
7) Belajar tidak hanya dari guru, tapi juga dari kawan atau orang lain
maka interaksi dan negosiasi adalah penting.
8) Siswa perlu melakukan refleksi, interpolasi, dan internalisasi.
9) Yang diutamakan adalah Pemahaman relasional.
10) Pemahaman matematika tidak dapat di transfer dari yang
mengetahui ke yang belajar.
Lima karakteristik dalam pembelajaran matematika dengan
pendekatan realistik sebagaimana yang diungkapkan
(Treffers,199; Van den Hoevel-Panhuizen, 1998) dalam (Zainurie:
2007) adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan konteks ”Dunia Nyata”. Dimana pembelajaran
matematika diawali dengan menggunakan masalah kontekstual
yang diangkat sebagai topik awal harus merupakan masalah yang
sederhana yang ”dikenal” siswa.
2) Menggunakan Model-model (Matematisasi). Istilah model
berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang
dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran
self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi
15
real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika
formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam
menyelesaikan masalah.
3) Menggunakan Produksi dan Kontruksi Streefland (1991)
menekankan bahwa dengan pembuatan ”produksi bebas” siswa
terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka
anggap penting dalam proses belajar.
4) Menggunakan Interaktif interaksi antarsiswa dengan guru
merupakan hal yang mendasar dalam Realistic Mathematic
Education (RME). Secara eksplisit bentuk–bentuk interaksi yang
berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju,
pertanyan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal
dari bentuk – bentuk informal siswa.
5) Menggunakan keterkaiatan (Intertwinment). Dalam Realistic
Mathematic Education (RME) pengintegrasian unit–unit
matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita
mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan
matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih
kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri
tetapi juga bidang lain.
16
Langkah-langkah dalam proses pembelajaran matematika
dengan pendekatan realistik dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Memahami masalah kontekstual. Guru memberikan masalah
kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk
memahaminya. Pada tahap ini ”karakteristik” pembelajaran
matematika dengan pendekatan realistik adalah menggunakan
masalah-masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal.
2) Menjelaskan masalah kontekstual. Guru menjelaskan situasi dan
kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk atau saransaran
(bersifat terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang
belum dipahami siswa.
3) Menyelesaikan masalah kontekstual. Siswa secara individual
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri.
Peran guru disini adalah memotivasi siswa untuk menyelesaikan
masalah dengan cara mereka sendiri. Tahap ini siswa dibimbing
untuk ”reinventio”’ (menemukan) sendiri tentang ide/konsep dari
soal matematika secara progresif.
4) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Guru
menyelesaikan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara berkelompok.
5) Menyimpulkan. Dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk
menarik kesimpulan suatu konsep.
17
4. Perkalian
a. Perkalian 1 sampai dengan 10
Cara menghitung :
1) Dihafal luar kepala
2) Menggunakan konsep matematika yaitu penjumlahan berulang.
Pembelajaran sebagai berikut :
a) Siswa disuruh mencari 10 sampai 20 tutup botol bekas, seperti
teh botol, coca-cola, dan sebagainya, kemudian membawanya
ke sekolah. Pembelajaran boleh dilakukan individu,
berkelompok atau individu. Saat dimulai pelajaran, siswa
disuruh untuk mengamati benda yang ada disekitar, misal kursi
dan meja. Tanyakan berapa kaki meja atau kursi, kemudian
siswa menghitung dan menjawab 4 ( empat), kemudian ditanya
kalau dua atau tiga kursi berapa jumlah kakinya. Kita bisa
pindah ke obyek yang lain, misalnya ada berapa, bila empat
anak atau lima anak berapa jumlah kakinya, dan seterusnya.
Kegiatan ini membantu anak memahami konsep penjumlahan
berulang. Anak disuruh mengeluarkan tutup botol yang sudah
mereka bawa, kemudian anak disuruh untuk menyusun tutup
botol tiga-tiga kebawah. Tanyakan ada berapa susun atau
berapa kali tiganya, kemudian berapa jumlahnya. Berulang–
ulang dengan jumlah yang berbeda, misalnya dua–dua ke
bawah sebanyak lima atau enam susun, kemudian ditanya
18
jumlahnya dan mereka berulang–ulang mereka mencoba dan
dapat memahami konsep dasar perkalian, kemudian anak
diminta menulis perkaliannya. Seperti ini anak menemukan
sendiri konsep dasar perkalian, dan yang lebih penting dari itu
pelajaran matematika menjadi bermakna. Ini modal dasar bagi
seorang guru.
b) Misal guru menyusun kerikil dalam bentuk susunan sebagai
berikut :
Gambar 2.1 Kerikil I
Ada berapa strategi jawaban siswa :
(1) Menghitung satu demi satu, hingga mendapat jumlah
seluruhnya.
(2) Menghitung jumlah kelereng disetiap baris (ada empat baris
masing masing sembilan kelereng) lalu menjumlahkan seluruh
baris.
(3) Menghitung jumlah kelereng disetiap kolom (ada sembilan
kolom masing–masing empat kelereng) kemudian
menjumlahkan seluruh kolom.
19
Strategi kedua dan ketigalah sebagai modal dasar pementukan
konsep dan makna perkalian. Perhatikan gambara berikut :
Gambar 2.2 Kerikil II
Empat ada sembilan buah atau sembilan sebanyak empat buah.
Empat ada sembilan kali atau sembilan ada empat kali. Sehingga
penjumlahan berulang ini bisa dinotasikan dengan 4 x 9 atau 9 x 4.
b. Melakukan perkalian dengan cara bersusun
1) Mengalikan bilangan satu angka dengan bilangan dua angka
Contoh : Pak Amat mempunyai 7 keranjang buah jeruk. Setiap
keranjang berisi 24 buah jeruk. Berapa jumlah semua jeruk milik
pak Amat?
Jawab :
Bentuk matematikanya: 24x7 =
24
7 x
28 ( 4x7 )
140 + ( 20x7 )
168

= 4

= 4

= 4

= 4

= 4

= 4

=4

= 4

= 4
 = 9
 = 9
 = 9
 = 9
20
2) Mengalikan bilangan tiga angka dengan satu angka
Contoh : Pak Budi membeli bola tenis sebanyak 285 kaleng.
Setiap kaleng berisi 7 buah bola. Berapa bola tenis yang dibeli pak
Budi seluruhnya?
Jawab :
Bentuk matematikanya : 285 x 7 =
3) Mengalikan Tiga Bilangan Satu Angka
Contoh : Ibu membeli kue sebanyak 4 tas plastik. Setiap tas plastik
berisi 4 kardus kue dan setiap kardus kue berisi 7buah roti. Berapa
buah kue seluruhnya yang dibeli ibu??
Jawab : Bentuk matematikanya : 4 x 5 x 7 =
C. Kerangka Berpikir
Dari zaman ke zaman matematika tetap saja dianggap sebagai mata
pelajaran yang penting karena matematika dapat digunakan sebagai salah satu
sarana pemecahan masalah dalam kehidupan sehari–hari. Oleh karena itu
pelajaran matematika sudah diberikan sejak pra sekolah (play group, taman
kanak–kanak) dan bahkan semua jenjang pendidikan pasti terdapat pelajaran
matematika serta diujikan secara nasional untuk menentukan kelulusan, tetapi
285
7 x
35 ( 5x7 )
560 ( 80x7 )
1400 + ( 200x7 )
1995
4
5 x
20 ( 4x5 )
7 x ( 20x7 )
140
21
matematika tetap saja masih di anggap momok bagi siswa dan
pembelajarannya saat ini dirasakan masih kurang efektif. Hal ini karena para
pendidik masih saja menempatkan siswa atau peserta didik sebagai objek,
sehingga siswa cenderung pasif. Kebiasaan–kebiasaan guru yang
menggunakan pendekatan klasik dalam menyampaikan matematika dan
rendahnya tingkat kreatifitas guru untuk menggunakan atau menciptakan
pendekatan baru yang lebih efektif untuk menyampaikan matematika menjadi
salah satu sebab kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep–konsep
matematika. Selain hal tersebut dalam mengajar matematika guru cenderung
menggunakan cara yang monoton sehingga siswa tetap merasa bahwa
matematika itu sulit.
Dalam pelaksanaan pembelajaran guru hendaknya memilih dan
menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa
untuk aktif dan mendekatkan matematika dengan kehidupan sehari–hari atau
kehidupan nyata. Salah satu pendekatan yang melibatkan siswa untuk aktif
adalah pendekatan realistik. Penerapan pendekatan realistik dapat
mengarahkan siswa untuk lebih dapat meningkatkan pemahaman konsep
matematika siswa karena konsep matematika dikaitkan langsung dengan
permasalahan–permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari–hari yang
dialami langsung oleh siswa. Guru tidak lagi menjadi sumber belajar bagi
siswa, tetapi sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan
sendiri permasalahan–permasalahan matematika yang sedang dihadapi, serta
menjadi motivator bagi siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam
22
pemecahan suatu masalah, serta menggunakan lingkungan sebagai sumber
belajar untuk menjadikan pelajaran menarik, menyenangkan dan disukai
siswa.
Berdasarkan masalah awal yang dideskripsikan dengan jelas oleh
peneliti, serta berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan diatas maka
peneliti dapat menetukan kerangka pemikiran. Pokok bahasan perkalian
merupakan hal mendasar yang harus dikuasai siswa dan siswa merasa
kesulitan dan cenderung malas untuk memecahkan persoalan perkalian.
Untuk itu perlu adanya pendekatan yang dapat membantu siswa memahami
perkalian secara benar dan mempermudah siswa menemukan konsep
perkalian. Dalam hal ini pendekatan yang sesuai adalah pendekatan RME.
Pendekatan RME dilakukan secara bertahap dan kontinu dengan alat peraga
nyata dan didukung dengan perangkat pembelajaran yang baik sehingga
mudah dipahami dan membantu memperoleh hasil yang diinginkan.
Melalui pembelajaran dengan pendekatan RME dan pengembangan
perangkat pembelajarannya, akan lebih membantu siswa dan guru dalam
pembelajaran pada pokok bahasan perkalian, siswa dapat mengasai materi
dan pembelajaran lebih terarah, efektif dan efisien karena didukung perangkat
pembelajaran yang optimal.
Kerangka bepikir peneliti dapat digambarkan sebagai berikut :
Kesulitan
pemahaman
konsep
perkalian
Persiapan
pembuatan
perangkat
pembelajar
Mengajar
dengan
perangkat yang
disiapkan
Perangkat
pembelajaran
pokok bahasan
perkalian
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir

Rabu, 09 Juli 2008

Peningkatan kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika.

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan matematika merupakan salah satu fondasi dari kemampuan
sains dan teknologi. Pemahaman terhadap matematika, dari kemampuan yang
bersifat keahlian sampai kepada pemahaman yang bersifat apresiatif akan
berhasil mengembangkan kemampuan sains dan teknologi yang cukup tinggi
(Buchori, 2001:120-121). Mengingat pentingnya matematika dalam
pengembangan generasi melalui kemampuan mengadopsi maupun
mengadakan inovasi sains dan teknologi di era globalisasi, maka tidak boleh
dibiarkan adanya anak-anak muda yang buta matematika. Kebutaan
matematika yang dibiarkan menjadi suatu kebiasaan, membuat masyarakat
kehilangan kemampuan berpikir secara disipliner dalam menghadapi masalah
– masalah nyata.
Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung,
mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika. Matematika
juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan
melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan
matematika, diagram, grafik, atau tabel. Salah satu tujuan pembelajaran
matematika adalah melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik
kesimpulan. Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melaluipenalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi
matematika. Penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berppikir untuk
menarik kesimpulan atau membuat pernyataan yang telah dibuktikan
kebenarannya.
Pada petunjuk teknis peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No
506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 tentang penilaian perkembangan
anak didik SMP dicantumkan indikator dari kemampuan penalaran sebagai
hasil belajar matematika. Indikator tersebut adalah: (1) menyajikan pernyataan
matematika secara lisan, tertulis, gambar, diagram, (2) mengajukan dugaan,
(3) melakukan manipulasi matematika, menarik kesimpulan, menyusun bukti,
(4) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi, (5) menarik
kesimpulan dari pernyataan, (6) memeriksa kesahihan suatu argumen,
menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi
(Wardhani, 2005:1).
Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan
menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang
diinginkan. Dampak yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar siswa
dalam pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena dalam proses
siswa kurang dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran
cenderung berpusat pada guru, dan klasikal. Selain itu siswa kurang dilatih
untuk bekerja kelompok dalam menganalisis permasalahan soal cerita
matematika, jarang sekali siswa menyampaikan ide untuk menjawab
pertanyaan bagaimana proses penyelesaian soal yang dilontarkan guru.Dari beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang
menarik dan dapat memicu peningkatan penalaran siswa yaitu model
pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif siswa lebih mudah
menemukan dan memahami konsep – konsep yang sulit apabila mereka saling
mendiskusikan masalah – masalah tersebut dengan temannya. Melalui diskusi
dalam pembelajaran kooperatif akan terjalin komunikasi dimana siswa saling
berbagi ide atau pendapat. Melalui diskusi akan terjadi elaborasi kognitif yang
baik, sehingga dapat meningkatkan daya nalar, keterlibatan siswa dalam
pembelajaran dan memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan
pendapatnya. Dalam pembelajaran ini siswa harus dapat mengembangkan
ketrampilan dan pemahamannya untuk bekerjasama. Disini yang paling
penting adalah siswa berbagi ide dan bekerjasama untuk mencapai tujuan
bersama.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai bayak tipe, diantaranya
tipe Jigsaw. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan lingkungan
belajar dimana siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang heterogen,
untuk menyelesaikan tugas – tugas pembelajaran. Siswa melakukan interaksi
sosial untuk mempelajari materi yang diberikan kepadanya, dan bertanggung
jawab untuk menjelaskan kepada anggota kelompoknya. Jadi, siswa dilatih
untuk berani berinteraksi dengan teman – temannya.
Mel Silberman dalam bukunya yang berjudul ‘Active Learning’
menyebutkan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa
bagian dan tidak mengharuskan urutan penyampaiannya maka strategipembelajaran Jigsaw ini menarik untuk digunakan dalam KBM. Strategi ini
melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada
orang lain (Sarjuli dkk., 2001 : 160). Begitu juga dalam penyampaian materi
matematika pada pokok bahasan persamaan garis lurus, materi yang
disampaikan tidak harus urut. Setiap siswa dapat mempelajari sesuatu yang
dikombinasi dengan materi yang telah dipelajari oleh siswa lain dalam tim
ahli.
Hal inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan
penelitian tentang penerapan pendekatan belajar kooperatif tipe jigsaw dalam
pembelajaran matematika sebagai upaya peningkatan kemampuan penalaran
matematika pada pokok bahasan persamaan garis lurus di SMP
Muhammadiyah 5 Surakarta. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan
tepat, maka penelitian ini akan dilaksanakan melalui pemberian tindakan
dalam kelas. Dimana peneliti akan berkolaborasi dengan guru karena gurulah
yang lebih paham dengan kondisi kelas.
B. Identifikasi Masalah
Penelitian ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan masalahmasalah
yang ada di SMP Muhammadiyah 5 Surakarta. Beberapa masalah
yang terjadi pada siswa kelas II SMP Muhammadiyah 5 Surakarta dalam
mengerjakan soal matematika yang teridentifikasi sebagai berikut: (1) Dalam
mengerjakan soal matematika siswa cenderung enggan menuliskan apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan, (2) Siswa cenderung kurang mampumenggunakan rumus / konsep yang diperlukan dalam pemecahan masalah, (3)
Siswa cenderung kurang mampu mengorganisasikan ketrampilan –
ketrampilan untuk menyelesaikan masalah, (4) kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan gagasan untuk pemecahan masalah sangat terbatas.
Akar penyebab munculnya permasalahan tersebut adalah guru sebagai
fasilitator, dalam tahap persiapan maupun tahap penyampaian materi ajar
kurang melibatkan siswa dalam situasi optimal untuk belajar, cenderung
pembelajaran berpusat pada guru dan klasikal akibatnya, siswa kurang mampu
menangkap ide soal yang kemudian ditampilkan dalam kalimat matematika
dengan simbol-simbol. Guru sebagai fasilitator, dalam tahap penyampaian
materi maupun dalam tahap pelatihan kurang membimbing kerja kelompok
dalam menganalisis permasalahan soal cerita matematika sehingga
pemahaman siswa terhadap konsep matematika yang dipelajari kurang
optimal. Dalam tahap pelatihan maupun dalam tahap penampilan hasil, guru
jarang meminta siswa secara berpasangan atau antar kelompok saling
menjelaskan proses perhitungan pemecahan masalah, hal ini menyebabkan
siswa mengalami kelemahan dalam melakukan operasi hitung.
C. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pembatasan masalah agar
hasil yang dicapai lebih terarah, dan dapat dikaji secara mendalam. Penelitian
dibatasi hal-hal sebagai berikut.
1. Peningkatan kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran
matematika.
Penalaran siswa dalam pembelajaran matematika yang akan
ditingkatkan adalah kemampuan siswa yang berupa: (1) Kemampuan
siswa dalam memahami apa yang diketahui dan ditanyakan, dengan
indikator siswa mampu menampilkan kalimat matematika dengan simbol,
(2) Konsep / rumus apa yang digunakan serta mampu mengorganisasikan
ketrampilannya untuk menyelesaikan masalah matematika, hal ini juga
mencakup kemampuan siswa dalam melakukan operasi hitung.
2. Pendekatan pembelajaran kooperatif
Melalui pembelajaran dengan pendekatan kooperatif, yaitu
sekelompok siswa belajar dengan porsi utamanya mendiskusikan tugastugas
matematika, dalam arti saling membantu menyelesaikan tugas
maupun memecahkan masalah, guru sebagai fasilitator menciptakan
belajar aktif, kreatif, dan menyenangkan. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
D. Perumusan dan Pemecahan Masalah
1. Perumusan Masalah
Penelitian tindakan kelas ini difokuskan pada peningkatan
kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika melalui
pendekatan belajar kooperatif. Menurut Hudojo (1998:119) kemampuan
penalaran siswa sebagai hasil belajar matematika berkaitan denganaktivitas berpikir siswa untuk menarik kesimpulan atau membuat
pernyataan baru yang benar berdasarkan pernyataan yang telah dibuktikan
(diasumsikan) kebenarannya dan peningkatan prestasi belajar siswa. Hasil
pengamatan mengenai akar penyebab kemampuan penalaran siswa dalam
pembelajaran matematika lemah, karena proses pembelajaran yang
dilakukan guru dalam masing-masing tahapan belajar lemah.
Kesepakatan guru mitra dan peneliti, kelemahan-kelemahan
tersebut perlu segera diatasi melalui pendekatan belajar kooperatif tipe
jigsaw. Tindakan – tindakan yang akan dilaksanakan pada tahap persiapan
yaitu guru memberikan tujuan belajar yang jelas, membangkitkan rasa
ingin tahu siswa, dan mengajak siswa terlibat sejak awal. Kegiatan inti
pada pembelajaran dilaksanakan dengan belajar kelompok dan diakhiri
dengan evaluasi oleh guru dan pemberian pertanyaan untuk mengecek
pemahaman siswa terhadap materi.
Peneliti bekerjasama dengan guru membuat rencana pembelajaran
dan menyiapkan media serta alat pembelajaran yang diperlukan dengan
memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Perencanaan ini
diarahkan pada perubahan peran guru sebagai fasilitator, memperbanyak
soal berbentuk terbuka yang kontekstual, dan menanamkan persepsi
belajar menjadi kebutuhan bersama melalui setting kelas kelompok kecil
serta mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang
menarik.E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan diatas maka secara garis besar penelitian
ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bernalar siswa dalam
pembelajaran matematika melalui pendekatan pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw. Peningkatan kemampuan bernalar siswa tersebut meliputi kemampuan
menampilkan kalimat matematika dengan simbol, menggunakan rumus dalam
pemecahan masalah, melakukan operasi hitung dan mengkomunikasikan
gagasan atau ide dalam menyelesaikan soal uraian. Seiring dengan
peningkatan kemampuan bernalar siswa, PTK ini juga ditujukan untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara umum, studi ini memberikan sumbangan kepada
pembelajaran matematika, utamanya pada layanan peningkatan
kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika. Telah
diakui secara luas bahwa penalaran matematika memiliki peran yang
cukup besar bagi siswa dalam hal motivasi, penampilan dan kecakapannya
dalam bidang matematika, oleh karenanya, wajar jika guru mempunyai
keyakinan intervensi dengan siswanya melalui peningkatan penalaran
matematika.
Good dan Brophy (1990:443) menyatakan bahwa pengharapan
guru (teacher expectations) adalah bagaimana guru menciptakan prestasi
akademik saat ini dan pada waktu yang akan datang dan tingkah laku
siswanya secara umum. Harapan guru tersebut meliputi keyakinan guru
(teachers belief) terhadap peningkatan kemampuan penalaran siswa,
potensi siswa dalam memahami instruksi, dan kesulitan materi yang
dihadapi siswa atau kelas. Bersama model lain, studi ini memperkaya
proses pembelajaran matematika dengan model pemecahan masalah secara
kooperatif dalam kelompok kecil .
Secara khusus, studi ini memberikan kontribusi kepada strategi
pembelajaran matematika berupa pergeseran paradigma mengajar menjadi
paradigma belajar dalam suasana yang gembira. Telah menjadi pandangan
yang cukup mapan bahwa paradigma belajar dalam suasana yang gembira
untuk memecahkan masalah matematika merupakan aspek yang esensial
dalam pembelajaran matematika (De Porter & Hernacki, 1999:48). Di sini,
paradigma belajar dalam suasana gembira dipertajam dengan dimensi guru
sebagai fasilitator, sehingga stabilitas dan keterkendalian terjaga.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan
formal LPTK untuk mengembangkan kompetensi para calon guru di
bidang materi pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, dan evaluasi
pembelajaran, mengingat kompetensi ini merupakan yang mendesak
dengan diberlakukannya KTSP. Bagi guru matematika, hasil penelitiandapat digunakan untuk menyelenggarakan layanan pembelajaran yang
inovatif, dan proses berpikir untuk menarik kesimpulan matematika bisa
diaplikasikan untuk mengembangkan model-model pembelajaran lebih
lanjut. Bagi siswa, proses ini dapat meningkatkan kemampuan dalam
bidang matematika maupun secara umum kemampuan mengatasi
permasalahan dalam hidupnya.

BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini membahas kajian pustaka, kajian teori dan kerangka pikiran.
Kajian pustaka merupakan uraian sistematis mengenai hasil – hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang ada hubungannya dengan
penelitian yang akan dilakukan. Kajian teori yang dijelaskan adalah teori – teori
yang berkaitan dengan variabel penelitian. Kerangaka berfikir adalah konsep yang
akan digunakan untuk menjawab masalah penelitian yang telah dikemukakan.
A. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini penulis mengacu pada penelitian yang relevan,
beberapa diantaranya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nur ‘Aini (2003)
yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar siswa pada topik
statistika ditinjau dari perbedaan penggunaan metode pembelajaran dan hasil
belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, serta
pendapat guru mengenai pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah bahwa
pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada pembelajaran
konvensional.
Sukoco (2003) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pengajaran
pola interaktif dapat merangsang siswa untuk aktif bertanya atau mengajukan
pendapat tentang pemahaman konsep – konsep. Selain itu proses belajarmengajar akan lebih harmonis apabila guru dan siswa sama – sama aktif
untuk menghidupkan suasana belajar. Pada pengujian dengan uji t-tes
diperoleh t hitung = 9.25, sedangkan t tabel dengan taraf signifikansi 1% dan
db 39 diperoleh harga t tabel 2.704, karena t hitung > t tabel ini berarti
hipotesis yang menyatakan ada peningkatan prestasi belajar siswa yang
mengalami kesalahan setelah diberikan pengajaran pemecahan masalah
dengan pola interaktif.
Lestari (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
pembelajaran dengan metode tutor sebaya dalam kelompok dapat
meningkatkan keaktifan siswa secara berarti.
Wahyuningsih (2001) menyimpulkan bahwa hasil belajar yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif lebih baik jika dibandingkan
dengan yang menggunakan model pembelajaran konvensional.
Sutama (2001:147) bahwa untuk memungkinkan siswa bebas berpikir
(tidak terlalu terikat) dan mandiri, maka proses pembelajaran hendaknya tidak
klasikal melainkan berbentuk belajar kooperatif dalam kelompok kecil.
Dari beberapa penelitian di atas dapat ditarik satu kesimpulan, yaitu
adanya pengaruh yang signifikan dari penggunaan model pembelajaran
terhadap peningkatan prestasi belajar siswa, khususnya pada Matematika.
Oleh karena itu pada penelitian kali ini peneliti ingin melihat apakah
kesimpulan tersebut berlaku juga dalam penerapan model pembelajaran
kooperatif sebagai upaya peningkatan kemampuan penalaran siswa dalampembelajaran matematika. Model pembelajaran kooperatif yang digunakan
pada penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Adapun peta perbedaan dan persamaan antara variabel yang peneliti
laksanakan dengan penelitian – penelitian tersebut sebagai berikut :
B. Kajian Teori
1. Kemampuan Penalaran Matematika Siswa
Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran
suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan
dalam matematika bersifat konsisten. Penalaran ini digunakan pada pola,
sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Menurut kamus bahasa Indonesia, bernalar merupakan suatu
aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis. Sedangkan
menurut Gilarso (1999: 16-17) yang dimaksud dengan penalaran adalah
suatu penjelasan yang menunjukkan kaitan atau hubungan antara dua hal
atau lebih yang atas dasar alasan – alasan tertentu dan dengan langkah –
langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan.
Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui
penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi
matematika. Agar siswa siap dan tertarik untuk melakukan penalaran
matematika, maka pembelajaran matematika seyogyannya diawali dengan
masalah kontektual; sehingga memungkinkan siswa menggunakan
pengalaman sebelumnya secara langsung (Suharta, 2003:4).
2. Proses Pembelajaran Matematika
Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjuk pada apa yang harus
dilakukan seseorang sebagai subyek yang menerima pembelajaran
(sasaran didik) sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus
dilakukan guru sebagai pengajar (Sudjana, 2000: 28).
Dalam kegiatan belajar mengajar guru harus memiliki strategi, agar
dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang
diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki srategi itu ialah harus
menguasai teknik – teknik penyajian atau biasanya disebut metode
mengajar.
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran
terdiri dari dua komponen yaitu belajar dan mengajar yang mana keduanya
tidak dapat dipisahkan.
a. Pengertian Belajar
Menurut Purwanto (1990:85) belajar adalah:
1) Suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan itu dapat
mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik tetapi juga ada
kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang buruk
2) Suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman
3) Untuk dapat disebut belajar maka perubahan itu harus relatif
mantap, harus merupakan akhir daripada satu periode waktu yang
cukup panjang.
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat.
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan
pada diri seseorang, perubahan sebagai hasil suatu proses belajar dapat
ditunjukkaan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya,
pemahamannya, daya penerimanya dan lain – lain aspek yang ada pada
individu (Sudjana, 2000: 28)
Menurut Purwanto (1990: 12), kegiatan belajar dipengaruhi
oleh faktor – faktor sebagi berikut:
1) Faktor yang ada pada diri sendiri, organisme itu sendiri yang kita
sebut faktor individual, dan
2) Faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial. Yang
termasuk ke dalam faktor individual antara lain: kematangan,
kecerdasan, motivasi dan faktor pribadi.
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa belajar merupakan kegiatan atau aktivitas yang berlangsung
dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang dilakukan karena
suatu usaha sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku.
b. Pengertian Mengajar
Istilah belajar dan mengajar adalah dua peristiwa yang berbeda,
akan tetapi keduanya terdapat hubungan yang erat. Antara keduanya
terdapat interaksi satu sama lain, saling mempengaruhi dan saling
menunjang satu sama lain. Dengan adanya mengajar maka proses
belajar dapat berlangsung dengan maksimal.
Usman dan Setiawati (1993: 6) berpendapat bahwa mengajar
pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar
mengajar. Atau dapat pula dikatakan bahwa mengajar merupakan
suatu usaha mengkoordinasi lingkungan dalam hubungannya dengan
anak didik dan bahan pengajaran sehingga menimbulkan terjadinya
proses belajar pada diri siswa.
Sudjana (2000: 29) mengajar adalah proses mengatur,
mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar.
Dari pendapat – pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
proses belajar mengajar matematika adalah suatu proses dimana siswa
belajar tentang materi matematika secara aktif, sedangkan guru
mengajar dan memfasilitasi siswa untuk mempermudah proses
pembelajaran sehingga dalam proses belajar mengajar tersebut terdapat
interaksi antara keduanya.
3. Pembelajaran Kooperatif
Roger dan David Johnson dalam Anita Lie (2005 : 31 – 35)
menyatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative
learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model
pembelajaran gotong – royong harus diterapkan, yaitu sebagai berikut :
a. Saling ketergantungan positif
Keberhasilan suatu kerja sangat tergantung pada usaha setiap
anggotanya.
b. Tanggung jawab perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika
tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran
cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab
untuk melakukan yang terbaik. Kunci keberhasilan metode kerja
kelompok adalah persaingan dalam penyusunan tugasnya.
c. Tatap muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi.
d. Komunikasi antar anggota
Unsur ini juga menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan
berbagai keterampilan berkomunikasi.
e. Evaluasi proses kelompok
Pengajar atau guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok
untuk mengevaluasi proses belajar kelompok dan hasil kerjasama
mereka agar selanjutnya bisa bekerjasama lebih efektif.
Pembelajaran kooperatif diartikan sebagai sistem pengajaran yang
memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan
sesama siswa dalam tugas – tugas yang terstruktur (Anita Lie, 2005 : 12).
Menurut Ibrahim (2000 : 3-4) model pembelajaran kooperatif
menuntut kerjasama siswa dan saling ketergantungan dalam struktur tugas,
tujuan dan hadiah. Struktur tugas mengacu pada jenis tugas kognitif dan
sosial yang memerlukan model pengajaran dan pelajaran berbeda. Struktursosial yang tujuan dan hadiah mengacu pada tingkat kooperatif atau
kompetensi yang dibutuhkan siswa untuk mencapai tujuan dan hadiah
mereka. Metode pembelajaran kooperatif tidak hanya unggul dalam
membantu teman sekelompok saja.
Kebanyakan pembelajaran yang menggunakan kooperatif memiliki
ciri – ciri sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang dan rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku,
ataupun jenis kelamin yang berbeda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kelompok dibandingkan individu.
(Ibrahim, 2000 : 6-7)
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan setidak – tidaknya
untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu :
a. Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja
siswa dalam tugas – tugas akademik dan unggul dalam membantu
siswa mamahami konsep – konsep yang sulit.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang
berbeda latar belakang dan kondisi sehingga bergantung satu sama lain
atau tugas – tugas bersama, belajar saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan ketrampilan sosial
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan
ketrampilan bekerja sama dan kolaborasi. Siswa akan belajar bekerja
sama menghargai pendapat orang lain dan menetapkan tujuan bersama.
(Ibrahim, 2000 : 7 – 9).
Langkah – langkah pembelajaran kooperatif antara lain adalah :
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk
belajar.
b. Penyajian informasi degan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
c. Mengorganisasikan siswa dalam kelompok – kelompok belajar (tim –
tim belajar).
d. Membimbing kelompok – kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas.
e. Presentasi hasil akhir kerja kelompok atau evaluasi tentang apa yang
mereka pelajari.
f. Memberi penghargaan terhadap usaha kelompok atau individu.
(Ibrahim, 2000 : 10)
Dengan memperhatikan berbagai konsep tentang pembelajaran di
atas, maka proses pembelajaran dengan model kooperatif dapatmerangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana
belajar pada kelompok – kelompok kecil yang bervariasi. Dalam model
pembelajaran ini siswa pada saat belajar kelompok akan berkembang
suasana belajar terbuka dalam dimensi kejawatan atau hubungan pribadi
yang saling menguntungkan dan membutuhkan, interaksi terbuka antara
guru dengan siswa, siswa dengan siswa, sehingga lebih memungkinkan
pengembangan nilai, sikap moral dan keterampilan sosial.
Kebaikan metode kelompok menurut Sagala (2003 : 216-217)
antara lain :
a. Membiasakan siswa bekerja sama, memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mengembangkan sikap musyawarah dan
bertanggungjawab.
b. Kesadaran akan adanya kelompok menimbulkan rasa kompetitif yang
sehat, sehingga membangkitkan kemauan belajar dengan sungguh –
sungguh.
c. Guru tidak perlu mengawasi masing – masing siswa secara individual,
cukup hanya dengan memperhatikan kelompok saja atau ketua – ketua
kelompoknya. Penjelasan tugaspun dapat dilakukan hanya melalui
ketua kelompok.
d. Melatih ketua kelompok menjadi pemimpin yang bertanggung jawab
dan membiasakan anggota – anggotanya untuk melaksanakan tugas
kewajiban sebagai warga yang patuh pada aturan.
Lebih lanjut Sagala menyebutkan beberapa kelemahan dari belajar
kelompok yang dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
a. Segi penyusunan kelompok, meliputi :
1) Kesulitan membuat kelompok yang homogen, baik secara
intelegensi, bakat, minat ataupun daerah tempat tinggal
2) Kelompok yang dianggap telah homogen sering terjadi ketidakcocokkan
antara anggota kelompok
3) Pengetahuan guru tentang pengelompokkan masih belum
mencukupi
b. Segi kelompok, meliputi :
1) Pemimpin kelompok kadang – kadang sulit untuk memberikan
penegertian kepada anggota, sulit untuk menjelaskan dan
mengadakan pembagian kerja
2) Anggota kelompok kadang – kadang tidak mematuhi tugas – tugas
yang diberikan oleh pemimpin kelompok
3) Dalam belajar bersama kadang – kadang tidak terkendali sehingga
menyimpang dari rencana yang disusun.
Model pembelajaran kooperatif mendukung siswa dalam belajar
kelompok sehingga dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk
menggunakan keterampilan berkarya membahas suatu masalah,
memotivasi siswa yang masih malu – malu untuk aktif , dapat
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, mengembangkan
kepemimpinan berdiskusi, interaksi dengan siswa lebih banyak, informasiyang didapatkan lebih banyak, serta kesempatan yang diperoleh dapat
dipertanggung-jawabkan.
4. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
Mel Silberman dalam bukunya yang berjudul ‘Active Learning’
menyebutkan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi
beberapa bagian dan tidak mengharuskan urutan penyampaiannya maka
strategi pembelajaran Jigsaw ini menarik untuk digunakan dalam KBM.
Strategi ini melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus
mengajarkan kepada orang lain (Sarjuli dkk., 2001 : 160).
Strategi pembelajaran ini menurut Mel Silberman dalam bukunya
yang berjudul ‘Active Learning’ dapat dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Pilih materi pelajaran yang dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
b. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah bagian
materi yang ada.
c. Setiap siswa diberi tugas membaca dan memahami materi pelajaran
yang berbeda-beda.
d. Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompoknya.
e. Kembalikan suasana kelas seperti semula, kemudian tanyakan
sekiranya ada persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam
kelompok.
f. Sampaikan beberapa pertanyaan kepada siswa untuk mengecek
pemahaman mereka terhadap materi.
5. Prestasi Belajar Siswa
Belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur
pokok, yaitu tujuan pengajaran instruksional, pengalaman proses belajar
mengajar dan hasil belajar. Tujuan instruksional yang hendak dicapai pada
hakekatnya adalah perubahan tingkah laku pada diri siswa sesuai dengan
yang diinginkan.
Oleh karena itu dalam penilaian hendaknya diperiksa sejauh mana
perubahan tingkah laku siswa setelah terjadi malalui proses belajarnya.
Dengan mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional yang diinginkan
dapat dilihat dari bentuk hasil belajar siswa setelah siswa menempuh
proses belajar mengajar.
Menurut Z. Arifin (1988: 3) prestasi belajar adalah kemampuan,
ketrampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan satu hal. Sehingga
prestasi belajar menunjukkan kemampuan, ketrampilan dan sikap yng
diperoleh seseorang dalam belajar. Prestasi mempunyai fungsi utama
antara lain:
a) Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan
yang dikuasai anak didik
b) Prestasi belajar sebagai lambang – lambang pemuasan hasrat ingin
tahu
c) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikand) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu intuisi
pendidikan
e) Prestasi belajar sebagai indikator terhadap daya serap (kecerdasan anak
didik)
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar
adalah bukti keberhasilan yang dicapai oleh seseorang berupa perubahan –
perubahan tertentu terkait dengan pengalaman dan pengetahuan dalam
kurun waktu tertentu, maka prestasi belajar matematika adalah suatu bukti
keberhasilan yang dicapai siswa setelah melalui proses belajar matematika
yang menunjukkan kecakapan siswa dalam menguasai materi pelajaran.

Selasa, 08 Juli 2008

IMPLEMENTASI IMPROVING LEARNING DENGAN TEKNIK INQUIRY

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia
membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada.
Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit
berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus
betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan
mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang
baik.
Selain itu pendidikan juga merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM baik fisik, mental maupun spiritual. Sejalan
dengan konsep pendidikan yang dicanangkan oleh PBB bahwa pendidikan
ditegakan oleh 4 pilar, yaitu lern to know, learn to do, learn to live together
dan learn to be. Pilar pertama dan kedua lebih diarahkan untuk membentuk
sense of having yaitu bagaimana pendidikan dapat mendorong terciptanya
sumber daya manusia yang memiliki kualitas di bidang ilmu pengetahuan dan
ketrampilan agar dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup,
sehingga mendorong sikap proaktif, kreatif dan inovatif ditengah kehidupan
masyarakat. Sementara pilar ketiga dan keempat diarahkan untuk membentuk
karakter bangsa atau sense of being, yaitu bagaimana harus terus menerus
belajar, dan membentuk karakter yang memiliki integritas dan tanggung jawab
serta memiliki komitmen untuk melayani sesama. Sense of being ini penting
karena sikap dan perilaku seperti ini akan mendidik siswa untuk belajar saling
memberi dan menerima serta belajar untuk menghargai serta menghormati
perbedaan atas dasar kesetaraan dan toleransi (Upik : 2005).
Dengan diberlakukanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) di sekolah baru-baru ini menuntut siswa untuk bersikap aktif, kreatif
dan inovatif dalam menanggapi setiap pelajaran yang diajarkan. Setiap siswa
harus dapat memanfaatkan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan seharihari,
untuk itu setiap pelajaran selalu dikaitkan dengan manfaatnya dalam
lingkungan sosial masyarakat. Sikap aktif, kreatif, dan inovatif terwujud
dengan menempatkan siswa sebagai subyek pendidikan. Peran guru adalah
sebagai fasilitator dan bukan sumber utama pembelajaran.
Untuk menumbuhkan sikap aktif, kreatif dan inovatif dari siswa tidaklah
mudah. Fakta yang terjadi adalah guru dianggap sumber belajar yang paling
benar. Proses pembelajaran yang terjadi memposisikan siswa sebagai
pendengar ceramah guru. Akibatnya proses belajar mengajar cenderung
membosankan dan menjadikan siswa malas belajar. Sikap anak didik yang
pasif tersebut ternyata tidak hanya terjadi pada mata pelajaran tertentu saja
tetapi pada hampir semua mata pelajaran termasuk metematika.
Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran
metematika dapat diukur dari keberhasilan siswa yang mengikuti kegiatan
tersebut. Keberhasilan itu dapat dilihat dari tingkat pemahaman, penguasaan
materi serta prestasi belajar siswa. Semakin tinggi pemahaman dan
penguasaan materi serta prestasi belajar maka semakin tinggi pula tingkat
keberhasilan pembelajaran. Namun dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa
prestasi belajar matematika yang dicapai siswa masih rendah. Berkaitan
dengan masalah tersebut, pada pembelajaran matematika juga ditemukan
keragaman masalah sebagai berikut : 1) keaktifan siswa dalam mengikuti
pembelajaran masih belum nampak, 2) para siswa jarang mengajukan
pertanyaan, walaupun guru sering meminta agar siswa bertanya jika ada halhal
yang belum jelas, atau kurang paham, 3) keaktifan dalam mengerjakan
soal-soal latihan pada proses pembelajaran juga masih kurang dan 4)
kurangnya keberanian siswa untuk mengerjakan soal didepan kelas. Hal ini
menggambarkan efektifitas belajar mengajar dalam kelas masih rendah.
Dalam pengajaran matematika diharapkan siswa benar-benar aktif.
Sehingga akan berdampak pada ingatan siswa tentang apa yang dipelajari akan
lebih lama bertahan. Suatu konsep mudah dipahami dan diingat oleh siswa
bila konsep tersebut disajikan melalui prosedur dan langkah-langkah yang
tepat, jelas dan menarik. Keaktifan siswa dalam belajar merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam belajar. Salah satu kegiatan
pembelajaran yang menekankan berbagai kegiatan tindakan adalah
menggunakan pendekatan tertentu dalam pembelajaran, karena suatu
pendekatan dalam pembelajaran pada hakikatnya merupakan cara yang teratur
dan terpikir secara sempurna untuk mencapai suatu tujuan pengajaran dan
untuk memperoleh kemampuan dalam mengembangkan efektifitas belajar
yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik. Pendekatan ini merupakan
peran yang sangat penting untuk menentukan berhasil atau tidaknya
pembelajaran yang diinginkan.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut yang berkelanjutan maka perlu
dicarikan formula pembelajaran yang tepat, sehingga dapat meningkatkan
keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika. Para guru yang peduli
dengan masalah ini terus berusaha menyusun dan menerapkan berbagai model
yang variasi agar siswa tertarik dan bersemangat dalam belajar matematika.
Salah satunya dengan menerapkan Improving Learning dengan menggunakan
teknik Inquiry.
Hakikat Improving Learning adalah pembelajaran dengan menggunakan
penekanan pada proses pembentukan suatu konsep dan memberikan
kesempatan luas kepada siswa berperan aktif dalam proses tersebut. Adapun
solusi yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknik Inquiry,
karena dalam inquiry siswa dilatih untuk selalu bertanya, bermula dari
pertanyaan siswa menentukan strategi atau cara menjawab. Akhirnya
ditemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dalam menyelesaikan
permasalahan siswa harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berarti
dan berhubungan serta mereka harus melaporkan hasil-hasil temuanya baik
secara lisan maupun tertulis. Kemudian mereka membandingkan hasil
temuanya itu dengan yang ditemukan oleh siswa lain dan kemudian
mengambil keputusan dari temuan-temuan tersebut.
Untuk menerapkan pendekatan ini guru harus betul-betul berpikir dan
berperilaku yang memfasilitasi karena siswa dituntut untuk dapat membuat
identifikasi apa yang akan dipelajari. Guru membantu siswa dalam membuat
pertanyaan, menentukan strategi mengumpulkan informasi dan mengolah
informasi (Ayub : 2005). Dengan Improving Learning banyak siswa akhirnya
menemukan banyak hal menarik yang kita temukan dalam mempelajari
matematika, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti
tentang Implementasi Improving Learning dengan teknik inquiry sebagai
usaha untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat diidentifikasikan bahwa
keberhasilan pembelajaran matematika tidak hanya ditentukan oleh
kemampuan guru serta tercapainya materi pembelajaran melainkan keaktifan
siswa secara langsung juga sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
matematika.
Keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar masih belum nampak.
Misalnya, siswa enggan mengajukan pertanyaan jika ada suatu hal yang belum
jelas, siswa hanya akan menjawab pertanyaan jika ditunjuk oleh guru, siswa
kurang aktif dalam mengerjakan latihan-latihan soal sendiri, siswa kurang
aktif dalam menanggapi jawaban temannya yang dirasa kurang tepat dan
kurangnya keberanian siswa untuk mengerjakan soal-soal di depan kelas. Halhal
tersebut secara tidak langsung menyebabkan hasil belajar matematika
relatif masih rendah.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih efektif, efisien, terarah dan dapat dikaji lebih
mendalam maka diperlukan pembatasan masalah. Fokus permasalahan dalam
penelitian ini adalah kurangnya keaktifan siswa dalam kegiatan belajar
mengajar matematika. Peran aktif siswa dapat ditingkatkan melalui
implementasi improving learning dengan teknik inquiry, yaitu suatu cara
penyampaian pelajaran dengan melibatkan siswa dalam proses mental dimana
siswa mengasimilasi suatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut
misalnya mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, dan
membuat kesimpulan.
Keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar dikhususkan pada
keberanian siswa untuk bertanya, keberanian siswa dalam menjawab
pertanyaan, keberanian siswa dalam memberi tanggapan, keaktifan siswa
untuk mengerjakan latihan-latihan soal yang diberikan dan yang paling
penting adalah mengkomunikasikan jawaban kepada temannya dengan maju
didepan kelas.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut diatas,
maka rumusan secara umum dari penelitian ini yaitu, “Apakah implementasi
improving learning dengan teknik inquiri dapat meningkatkan keaktifan siswa
yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan hasil belajar siswa ?”.
Dari permasalahan umum ini dapat dirinci menjadi dua permasalahan
khusus, yaitu :
1. Apakah implementasi improving learning dengan teknik inquiry dapat
meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran?
2. Apakah peningkatan peran aktif siswa dalam pembelajaran dapat
meningkatkan hasil belajar siswa?
E. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk menganalisis dan menguji
apakah implementasi improving learning dengan teknik inquiry dapat
meningkatkan keaktifan siswa yang secara langsung juga akan meningkatkan
hasil belajar siswa.
Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis dan menguji peningkatan keaktifan siswa melalui Improving
Learning dengan teknik inquiry.
2. Menganalisis dan menguji peran aktif siswa dalam meningkatkan hasil
belajar melalui Improving Learning dengan teknik inquiry.
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis berharap semoga hasil penelitian dapat
memberikan manfaat konseptual utamanya kepada pembelajaran matematika.
Disamping itu juga kepada penelitian peningkatan mutu proses dan hasil
pembelajaran matematika SMP.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan keaktifan siswa
dalam pembelajaran matematika melalui penerapan Improving
Learning dengan teknik inquiry.
b. Sebagai pijakan untuk mengembangkan penelitian-penelitian yang
menggunakan pendekatan Improving Learning.
c. Bagi siswa agar meningkatkan hasil belajar matematika.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Bagi penulis, dapat memperoleh pengalaman langsung dalam
menerapkan pembelajaran matematika melalui Improving Learning
terutama dengan menggunakan teknik inquiry.
b. Bagi guru, dapat digunakan sebagai bahan masukan khususnya bagi
guru kelas VIII tentang suatu alternatif pembelajaran matematika
dalam student centered untuk meningkatkan keaktifan belajar
matematika siswa dengan Improving Learning.
c. Bagi siswa terutama sebagai subyek penelitian, diharapkan dapat
memperoleh pengalaman langsung mengenai adanya kebebasan dalam
belajar matematika secara aktif, kreatif dan menyenangkan melalui
kegiatan penyelidikan sesuai perkembangan berpikirnya.

BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan dibahas tentang tinjauan pustaka, kajian teori, kerangka
pemikiran, dan perumusan hipotesis. Tinjauan pustaka merupakan uraian
sistematis tentang hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Kajian teori yang
dipaparkan adalah teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian
yang akan dibahas beserta indikator-indikatornya. Kerangka berfikir akan
membahas tentang landasan teori dan hipotesis akan berhubungan antar semua
variabel dalam penelitian yang akan mengulas tentang jawaban sementara dari
tindakan-tindakan yang akan dilakukan dengan hasil yang diharapkan.
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai strategi pembelajaran lebih cenderung merupakan
penelitian aspek psikologi dari suatu sistem atau struktur. Banyak penelitian
yang dilakukan dalam rangka penelitian kualitas pembelajaran, diantaranya
adalah :
Dalam penelitian Wahyu Widyastuti (2003) menyimpulkan bahwa (1)
ada dampak yang berarti antara metode mengajar guru terhadap prestasi
belajar matematika, (2) ada dampak yang berarti antara aktivitas belajar siswa
terhadap prestasi belajar matematika, (3) tidak ada dampak yang berarti antara
metode mengajar guru dengan aktivitas belajar dalam mempengaruhi prestasi
belajar matematika.
Euis Eti Rohaeti (2004) dalam skripsinya menyimpulkan bahwa (1)
pemahaman matematik siswa yamg pembelajarannya menggunakan metode
Improve lebih baik dari pada yang menggunakan cara biasa, (2) kemampuan
komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode
Improve lebih baik dari pada yang menggunakan cara biasa, (3) terdapat
kaitan (asosiasi) yang cukup antara pemahaman matematik dan kemampuan
komunikasi matematik kelas eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol data
tidak mendukung adanya kaitan (asosiasi) antara pemahaman matematik dan
kemampuan komunikasi matematik, Siswa yang pembelajarannya dengan
menggunakan metode Improve lebih aktif dari pada yang yang menggunakan
cara biasa, (4) sikap siswa terhadap pembelajaran dengan metode Improve
secara keseluruhan positif.
Subandriyo (2006) dalam tesisnya juga menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan antara prestasi belajar siswa yang diajar dengan metode inquiry
dengan kelompok siswa yang diajar dengan metode konvensional, selain itu
juga menyimpulkan bahwa terdapat interaksi antara metode inquiry dan sikap
percaya diri siswa dalam mempengaruhi prestasi belajar matematika.
Kemudian yang terakhir adalah hasil analisis dari penelitian Sularmi
(2006). Di dalam tesisnya beliau menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
pengaruh penerapan metode inquiry-discovery dan konvensional terhadap
prestasi belajar IPA serta adanya pengaruh interaksi antara metode (inquirydiscovery
dan konvensional) dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar
IPA.
11
Tabel 2.1 Perbedaan variabel-variabel yang diteliti
No Variabel
Peneliti
Improve
Learning
Teknik
inquiri
Keaktivan
siswa
Prestasi Pembelajaran
Matematika
1 Wahyu Widyastuti √ √ √ √
2 Euis Eti Rohaeti √ √ √
3 Subandriyo √ √ √
4 Sularmi √ √
5. Hema Nur Farida √ √ √ √ √
Penelitian-penelitian tersebut dijadikan sebagai tinjauan pustaka
karena dalam penelitian Wahyu Widiyastuti menyatakan bahwa metode yang
digunakan oleh guru untuk mengajar dapat berpengaruh terhadap prestasi
belajar. Sedangkan Euis Eti Rohaeti manyatakan bahwa metode improve lebih
baik dari pada metode konvensional dalam hal kemampuan komunikasi siswa.
Penelitian Subandriyo membuktikan bahwa metode inquiry memiliki
keefektivan dalam pembelajaran matematika sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Sularmi menyatakan bahwa metode inquiry berpengaruh
positif terhadap prestasi belajar IPA, hal ini memberikan motivasi kepada
peneliti untuk mengetahui apakah teknik inquiry juga akan berhasil jika
diterapkan pada pembelajaran matematika. Dengan demikian penelitianpenelitian
tersebut mendukung penelitian ini yang menekankan pada
penerapan improving learning dengan menggunakan teknik inquiry sebagai
usaha untuk meningkatkan keaktivan siswa dalam pembelajaran matematika.
B. Tinjauan Teori
1. Pembelajaran
a. Pengertian pembelajaran
Gagne (dalam Hidayat dkk 1990 : 2), belajar adalah suatu
proses yang terjadi secara bertahap (episode). Episode tersebut terdiri
dari informasi, transformasi, dan evaluasi. Informasi menyangkut
materi yang akan diajarkan, transformasi berkenaan dengan proses
memindahkan materi, dan evaluasi merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan proses yang telah
dilakukan oleh pembelajar dan pengajar.
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) merupakan proses aktif bagi siswa dan guru
untuk mengembangkan potensi siswa sehingga mereka akan “tahu”
terhadap pengetahuan dan pada akhirnya “mampu” untuk melakukan
sesuatu. Prinsip dasar KBM adalah memberdayakan semua potensi
yang dimiliki siswa sehingga mereka akan mampu meningkatkan
pemahamannya terhadap fakta/ konsep/ prinsip dalam kajian ilmu
yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk
berpikir logis, kritis, dan kreatif ( 2006 : 1 ).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, yaitu pengertian
belajar dan kegiatan belajar mengajar, maka terdapat istilah yang
relevan sesuai dengan perkembangan pendidikan sekarang yaitu
proses pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik
agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran
adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan
baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia
serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun (Wikipedia : 2007).
b. Beberapa model pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan
dapat dijadikan acuan pengajaran keterampilan di kelas, antara lain:
1) Model Pembelajaran Kolaborasi (Collaboration learning)
Pembelajaran Kolaborasi menempatkan siswa dalam
kelompok kecil dan memberinya tugas dimana mereka saling
bergantung satu dengan lainnya untuk menyelesaikan tugas atau
pekerjaan kelompok. Dukungan sejawat, keragaman pandangan,
pengetahuan dan keahlian sangat membantu mewujudkan belajar
kolaboratif. Metoda yang bisa diterapkan antara lain mencari
informasi, proyek, kartu sortir, turnamen, tim quiz, dll.
2) Model Pembelajaran Mandiri (independent learning)
Model Pembelajaran ini siswa belajar atas dasar kemauan
sendiri dengan mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki
dengan memfokuskan dan merefleksikan keinginan. Teknik yang
bisa diterapkan antara lain apresiasi-tanggapan, asumsi presumsi,
visualisasi mimpi atau imajinasi, hingga cakap memperlakukan
alat/ bahan berdasarkan temuan sendiri atau modifikasi dan
imitasi, refleksi karya, melalui kontrak belajar, maupun structural
berdasarkan tugas yang diberikan (inquiry, discovery, recovery).
3) Model Pembelajaran Multi Model
Pembelajaran multi model dilakukan dengan maksud akan
mendapatkan hasil yang optimal dibanding hanya satu model.
Metoda yang dikembangkan dalam pembelajaran ini adalah
proyek, modifikasi, simulasi, interaktif, elaboratif, partisipatif,
cooperative study (magang), integrative, produksi, demonstrasi,
imitasi, eksperiensial, kolaboratif.
4) Improving learning
Improving learning adalah pembelajaran yang di dalamnya
memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif belajar
dan lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berkomunikasi matematika. Sifat pembelajarannya dengan
“mengalami” atau dengan “melakukan”, istilah itu digunakan
untuk rangkaian pendekatan belajar berdasarkan kegiatan
termasuk eksperimen, main peran, metode “penemuan” dan
diskusi.
2. Pendekatan Improving Learning
Piaget (dalam Hamzah, 2001 : 6) menyatakan bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan
melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung
pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkunganya.
Improving Learning pertama kali dikembangkan oleh Derek Glover,
beliau orang Amerika. Improving Learning dikembangkan di Indonesia
bertujuan untuk membuat proses pembelajaran menjadi efisien, efektif dan
menyenangkan atau dalam masyarakat sering dikenal dengan
pembelajaran yang lebih aktif. Improving lebih menekankan pada hasil
yang dicapai, bukan metode yang digunakan. Selain itu improving
learning cenderung didasarkan pada keaktifan siswa. Jadi improving
learning adalah model perbaikan pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif dan lebih memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berkomunikasi matematik.
Teori belajar Improve memandang anak sebagai makhluk yang aktif
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungan. Guru yang dipandang sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran, sebaiknya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk
menerima pelajaran, termasuk memilih metode yang tepat dan sesuai
dengan tahap perkembangan anak.
Ruseffendi (1988:133) mengemukakan tiga dalil pokok Piaget
dalam kaitanya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap
perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembangan
mental, yaitu (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap
beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap
manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang
sama. (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari
operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan
hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menentukan adanya tingkah
laku intelektual, dan (3) gerak melalui tahap tersebut dilengkapi oleh
keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan
tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang
timbul (akomodasi).
Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, guru seharusnya
mengetahui hakikat matematika itu sendiri, hakikat anak dan cara
mengajarkan matematika menurut teori yang diterapkan. Menurut teori
belajar Improve, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
pikiran guru kepikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara
mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan
sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru (Hamzah, 2001 : 6).
3. Teknik Inquiry
Untuk melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan Improve ini
digunakan teknik Inquiry. Menurut buku Making the PYP Happen yang
diterjemahkan oleh Gatut Samuel (2004:78-80) berpendapat bahwa
pembelajaran unit berdasarkan inquiry merupakan poin penting dalam
pembelajaran matematika. Siswa dan guru mengidentifikasi bersama apa
yang sudah mereka ketahui yang relevan dengan inquirynya, apa yang
ingin mereka ketahui, apa yang perlu mereka ketahui untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka dan bagaimana cara terbaik untuk
menemukan jawabanya.
Piaget (dalam Mulyasa, 2005 : 108) menyatakan inquiry merupakan
teknik yang mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan
eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin
melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari
jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang lain,
membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta
didik lainnya. Inquiry sebagai teknik pengajaran mengandung arti bahwa
dalam proses kegiatan berlangsung pengajar harus dapat mendorong dan
dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif dalam belajar.
Adapun langkah-langkah pelaksanaanya:
1) Membina suasana yang responsif diantara siswa.
2) Mengemukakan permasalahan untuk di Inquiry (ditemukan) melalui
cerita, film, gambar dan sebagainya, kemudian mengajukan pertanyaan
kearah mencari, merumuskan dan memperjelas permasalahan dari
cerita atau gambar.
3) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa, pertanyaan yang
diajukan bersifat mencari atau mengajukan informasi atas data tentang
masalah tersebut.
4) Merumuskan hipotesis (asumsi atau perkiraan yang merupakan
jawaban dari permasalahan tersebut). Perkiraan jawaban ini akan
terlihat tidaknya setelah pengumpulan data dan pembuktian data.
Siswa mencoba merumuskan hipotesis permasalahan tersebut. Guru
membantunya dengan pertanyaan pancingan.
5) Menguji hipótesis, guru mengajukan pertanyaan yang bersifat meminta
data untuk pembuktian hipotesis.
6) Pengambilan kesimpulan, perumusan kesimpulan ini dilakukan oleh
guru dan siswa.
Model inquiry didefinisikan oleh Piaget (dalam Ida, 2005:5) sebagai
pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan
eksperimen sendiri, dalam arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin
melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol dan mencari
jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu
dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan
yang ditemukan orang lain.
Kuslan Stone (dalam Ida, 2006:6) mendefinisikan model inquiry
sebagai pengajaran di mana guru dan anak mempelajari peristiwaperistiwa
dan gejala-gejala ilmiah dengan pendekatan dan jiwa para
ilmuwan.
Pengajaran berdasarkan inquiry adalah suatu strategi yang berpusat
pada siswa di mana kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu
persoalan atau mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam
suatu prosedur dan struktur kelompok yang digariskan secara jelas
(Hamalik, dalam Ida 2006:6).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
inquiry merupakan suatu proses yang ditempuh siswa untuk memecahkan
masalah dengan jalan merumuskan masalah, melakukan observasi dalam
rangka pengumpulan data, menganalisis dan mengajukan dugaan,
mengkomunikasikan hasil dugaan atau hipotesis, mengumpulkan fakta dan
yang terakhir adalah membuat kesimpulan sebagai jawaban atas mesalah
tersebut. Jadi, dalam model inquiry ini siswa terlibat secara mental
maupun fisik untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberikan guru.
Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para ilmuwan
sains, yaitu teliti, tekun, objektif, kreatif, dan menghormati pendapat orang
lain.
4. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
a. Pengertian
Dalam konsep belajar aktif pengetahuan merupakan pengalaman
pribadi yang diorganisasikan dan dibangun melalui proses belajar
bukan merupakan pemindahan pengetahuan yang dimiliki guru kepada
anak didiknya. Sedangkan mengajar merupakan upaya menciptakan
lingkungan agar siswa dapat memperoleh pengetahuan melalui
keterlibatan secara aktif dalam kegiatan belajar.
Tytler (dalam Hamzah, 2001:6) mengajukan beberapa saran
yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran untuk menunjang
keaktivan, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Jadi dalam proses belajar mengajar, siswalah yang harus
membangun pengetahuannya sendiri. Sedangkan guru berperan untuk
menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung bagi terciptanya
pembelajaran yang bermakna. Siswa harus mengalami dan
berinteraksi langsung dengan objek yang nyata. Jadi belajar harus
dialihkan yang semula berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Dan karena sekolah merupakan sebuah miniator
dari masyarakat maka dalam proses pembelajaran harus terjadi saling
kerjasama dan interaksi antar berbagai komponen yang terbaik.
Pendidikan modern lebih menitik beratkan pada aktivitas sejati,
dimana siswa belajar dengan mengalaminya sendiri pengetahuan yang
dia pelajari. Dengan mengalaminya sendiri, siswa memperoleh
pengetahuan pemahaman dan ketrampilan serta perilaku lainnya,
termasuk sikap dan nilai.
b. Beberapa Aktivitas Siswa
Pendidikan saat ini menghendaki peranan aktivitas siswa dalam
kegiatan interaksi dalam pembelajaran. Hal ini tidak berarti guru pasif
atau tidak aktif dalam pembelajaran berlangsung, tetapi guru berperan
sebagai pembimbing dan fasilitator agar siswa menjadi lebih aktif dan
kreatif belajar.
Herman Handoyo (1988:121-123) mengklasifikasikan aktivitas
belajar atau yang menurutnya disebut aktivitas intelektual siswa,
seperti pada uraian di bawah ini :
1) Menguji
Pada waktu guru memberikan materi, guru hendaknya
melibatkan intelektual siswa yaitu dengan menguji dan eksplorasi
situasi. Maksud dari kegiatan ini adalah untuk mengabstraksi dan
menemukan. Mengabstraksi berarti mengidentifikasi esensi dari
hal yang diketahui, sedangkan menemukan berarti menghasilkan
sesuatu yang dianggap baru dengan menggunakan imajinasi,
pikiran atau eksperimen.
2) Mengungkapkan
Aktivitas ini mengharapkan siswa dapat menghasilkan kata,
kalimat, bagan, atau table dengan menggunakan symbol yang
sesuai dengan situasi masalahnya. Ini merupakan proses belajar
untuk mengkonstruksi model-model matematika dari situasi
masalah yang dihadapi.
3) Membuktikan
Apabila siswa sudah berhasil merumuskan sesuatu, mereka
perlu membuktikan berdasarkan argument atau alas an yang
terstruktur.
4) Mengaplikasikan masalah
Konsep dan prosedur yang telah diketahui perlu diaplikasikan
ke situasi yang baru. Dalam mengaplikasikan mungkin siswa harus
dapat mengabstraksikan.
5) Menyelesaikan masalah
Dari suatu masalah komplek yang dihadapi namun belum
pernah diselesaikan, seorang siswa harus menyelesaikan dengan
konsep atau theorema serta prosedur yang telah dikuasai.
6) Mengkomunikasikan
Aktivitas ini berupa pertukaran informasi antara siswa, Masingmasing
dengan menggunakan symbol yang sama. Para siswa harus
mendapat kesempatan untuk menyatakan gagasan matematikanya.
Secara verbal dan tertulis, mengkomprehensikan dan
menginterpretasikan gagasan-gagasan yang dinyatakan oleh siswa
lain.
Klasifikasi aktivitas belajar dari Herman Handoyo di atas
menunjukkan bahwa aktivitas dalam pembelajaran cukup kompleks
dan bervariasi. Aktivitas disini tidak hanya terbatas pada aktivitas
jasmani saja yang dapat secara langsung diamati tetapi juga meliputi
aktivitas rohani.
c. Dampak Aktivitas Siswa
Dalam belajar sangat diperlukan adanya suatu aktivitas sebab
pada prinsipnya belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah
tingkah laku menjadi kegiatan. Tidak akan ada belajar kalau tidak ada
aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau dasar yang
sangat penting dalam interaksi belajar mengajar. Aktivitas tersebut
tidak hanya dilakukan di dalam kelas saja oleh siswa, tetapi juga harus
dilakukan di luar kelas, kapanpun, dimanapun agar mendapat prestasi
yang baik. Biasa melakukan, seperti halnya aktif mengerjakan tugastugas
yang diberikan oleh guru, rajin belajar setiap waktu tanpa ada
harus menunggu disuruh, rajin membaca buku-buku yang berkaitan
dengan materi yang disampaikan oleh guru, rajin mencoba
mengerjakan soal-soal yang terdapat didalam buku, dan juga
melakukan aktivitas lainnya untuk meningkatkan prestasi.
Kecenderungan dewasa ini menganggap bahwa anak adalah
makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat
sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri.
Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang yang belajar
harus aktif sendiri, tanpa adanya aktivitas, maka proses belajar tidak
mungkin terjadi. Jadi jelas bahwa dalam kegiatan belajar, siswa yang
sebagai subyek haruslah aktif berbuat. Dengan kata lain bahwa dalam
belajar sangat diperlukan adanya aktivitas, tanpa aktvitas, belajar tidak
akan mungkin berlangsung dengan baik.
5. Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
a. Bentuk-bentuk sistem persamaan linear dua variabel
1) Perbedaan PLDV dan SPLDV
a). Persamaan linear dua variabel (PLDV)
Persamaan linear dua variabel adalah persamaan yang
memiliki dua variabel dan pangkat masing-masing variabelnya
satu. Jika dua variabel tersebut x dan y, maka PLDV-nya dapat
dituliskan :
dengan a, b ≠ 0
ax + by + c = 0
25
Contoh :
1). 2x + 2y = 3
2). y = 2x -1
3). 5y + 4 = 8x
b). Sistem Persamaan linear dua variabel (SPLDV)
SPLDV adalah suatu system persamaan yang terdiri atas dua
persamaan linear (PLDV) dan setiap persamaan mempunyai
dua variabel. Bentuk umum SPLDV adalah:
; dengan a, b, p, q ≠ 0
Contoh :
1). 3x + 2y = 7 dan x = 3y + 4
2). 3
4
10 2
3
4
2
7 

x  y  dan x y
3). x – y = 3 dan x + y = -5 atau dapat ditulis
  
  
 
5
3
x y
x y
2) Menyatakan suatu variabel dengan variabel lain pada persamaan
linear
Contoh :
Diketahui persamaan x + y = 5, jika variabel x dinyatakan dalam
variabel y menjadi :
x + y = 5
 x = 5 – y
ax + by = c
px + qy = r
26
3) Mengenal Variabel dan Koefisien pada SPLDV
Contoh :
Diketahui SPLDV : 2x + 4y = 12 dan 3x – y = 5
 Variabel SPLDV adalah x dan y
 Konstanta SPLDV adalah 12 dan -5
 Koefisien x dari SPLDV adalah 2 dan 3
 Koefisien y dari SPLDV adalah 4 dan -1
b. Akar dan Bukan akar SPLDV
Dalam sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) terdapat
pengganti-pengganti dari variabel sehingga kedua persamaan menjadi
benar. Pengganti - pengganti variabel yang demikian disebut
penyelesaian atau akar dari sistem persamaan linear dua variabel.
Apabila pasangan pengganti menyebabkan salah satu atau kedua
persamaan menjadi kalimat tidak benar disebut bukan penyelesaian
atau bukan akar dari SPLDV tersebut.
Contoh :
Diketahui SPLDV : 2x – y = 3 dan x + y = 3
Tunjukkan bahwa x = 2 dan y = 1 merupakan akar dari SPLDV
tersebut .
Jawab :
 2x – y = 3
Jika x = 2 dan y = 1 disubstitusikan pada persamaan diperoleh
2x - y = 3
27
 2(2) – 1 = 3
 3 = 3 (benar)
 x + y = 3
jika x = 2 dan y = 1 disubstitusikan pada persamaan diperoleh
x + y = 3  2 + 1 = 3  3 = 3 (benar)
Jadi, x = 2 dan y = 1 merupakan akar dari SPLDV 2x – y = 3
dan x + y = 3
c. Penyelesaian SPLDV
Untuk menentukan penyelesaian atau kar dari SPLDV dapat
ditentukan dengan 3 cara, yaitu metode grafik, metode substitusi,
metode eliminasi.
1. Metode grafik
Prinsip dari metode grafik yaitu mencari koordinat titik potong
grafik dari kedua persamaan. Dari contoh diatas apabila dikerjakan
dengan metode grafik sebagai berikut.
x + y = 4
X 0 4
Y 4 0
(x,y) (0,4) (4,0)
4
(2,2)
-2 2 4
3
2
x + y = 4
x – 2y = -2
x – 2y = -2
28
Dari grafik terlihat kedua grafik berpotongan di (2,2). Koordinat
titik potong (2,2) merupakan penyelesaiannya
Jadi, penyelesaiannya x = 2 dan y = 2
2. Metode substitusi
Hal ini dilakukan dengan cara memasukkan atau mengganti salah
satu variabel dengan variabel dari persamaan kedua.
Contoh :
Tentukan penyelesaian dari SPLDV : x + y = 4 dan x – 2y = -2
dengan metode substitusi!
Jawab :
 x + y = 4  x = 4 – y
 x = 4 – y disubstitusikan pada x – 2y = - 2 akan diperoleh :
x – 2y = - 2
 (4 – y ) – 2y = - 2
 4 – 3y = - 2
 -3y = -6
 y =
3
6


= 2
 selanjutnya untuk y =2 disubstitusikan pada salah satu
persamaan, misalnya ke persamaan x + y = 4, maka diperoleh :
x + y = 4  x + 2 = 4  x = 4 – 2  x = 2
X 0 -2
Y 1 0
(x,y) (0,1) (-2,0)
29
Jadi, penyelesaianya adalah x = 2 dan y = 2
3. Metode eliminasi
Caranya sebagai berikut :
a. Menyamakan salah satu koefisien dan pasangan suku dua
persamaan bilangan yang sesuai.
b. Jika tanda pasanganan suku sama, kedua persamaan di
kurangkan.
c. Jika tanda pasangan suku berbeda, kedua suku persamaan
ditambahkan
Contoh :
Tentukan penyelesaian dari SPLDV : x + y = 4 dan x – 2y = -2
dengan metode eliminasi!
Jawab :
 Mengeliminir peubah x
x + y = 4
x – 2y = - 2
3y = 6
y = 2
 Mengeliminir peubah y
x + y = 4 x 2 2x + 2y = 8
x – 2y = - 2 x 1 x – 2y = - 2
3x = 6
x = 2
Jadi, penyelesaianya adalah x = 2 dan y = 2
30
C. Kerangka Berfikir
Prosedur penelitian tindakan kelas ini merupakan siklus dan
dilaksanakan sesuai perencanaan tindakan atau perbaikan dari perencanaan
tindakan terdahulu. Penelitian ini diperlukan evaluasi awal untuk mengetahui
penyebab rendahnya keaktifan siswa dan observasi awal sebagai upaya untuk
menemukan fakta-fakta yang dapat digunakan untuk melengkapi kajian teori
yang ada dan untuk menyusun perencanaan tindakan yang tepat dalam upaya
meningkatkan keaktifan siswa.
Tindakan kelas yang dilaksanakan berupa pengajaran di kelas secara
sistematis dengan tindakan pengelolaan kelas melalui strategi, pendekatan,
metode dan teknik pengajaran yang tepat dengan penerapannya kondisional
yang mengacu pada perencanaaan tindakan yang telah tersusun sebelumnya.
Dalam penelitian setiap tindakan penelitian akan mengamati reaksi siswa
dalam setiap tindakan pengajaran yang dilakukan didepan kelas. Dalam sekali
tindakan biasanya permasalahan atau pemikiran baru yang perlu mendapat
perhatian sehingga siklus tersebut harus terus berulang sampai permasalahan
tersebut teratasi.
Gambar 2.1
Kerangka berfikir penelitian
Masalah keaktifan
siswa
Perencanaan
tindakan
Tindakan
PTK
Penyelesaian masalah keaktifan siswa
meningkat
31
Dilihat dari bagan di atas, tampak bahwa untuk menyelesaikan
masalah keaktivan siswa dibutuhkan suatu perencanaan tindakan yang
mengarah pada penelitian tindakan kelas, dengan demikian masalah keaktivan
siswa dapat meningkat.
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan tinjauan pustaka, kajian teori dan kerangka berfikir dapat
dirumuskan sebagai berikut jika guru menerapkan improving learning dengan
menggunakan teknik inquiry maka keaktifan siswa akan meningkat.
Selanjutnya peningkatan keaktivan siswa juga dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian tindakan kelas (PTK). Susilo
(2007:13) menyebutkan bahwa PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh
guru dalam kelas atau sekolah tempat mengajar dengan penekanan pada
penyempurnaan atau peningkatan praktik dan proses dalam pembelajaran.
Penelitian kelas merupakan kegiatan pemecahan masalah yang
dimulai dari : a) perencanaan (planning), b) pelaksanaan (action), c)
pengumpulan data (observing), d) menganalisis data/ informasi untuk
memutuskan sejauh mana kelebihan atau kelemahan tindakan tersebut
(reflecting). PTK bercirikan perbaikan terus menerus sehingga kepuasan
peneliti menjadi tolak ukur berhasilnya (berhentinya) siklus-siklus tersebut.
Setelah dilakukan refleksi yang mencakup analisa, sintesa dan
penelitian terhadap hasil pengamatan serta hasil tindakan, biasanya muncul
permasalahan yang perlu mendapat perhatian sehingga pada gilirannya perlu
dilakukan perencanaan ulang.
Penelitian ini dilakukan secara kolaboratif antara kepala sekolah, guru
tetap dan peneliti. Kegiatan perencanaan awal dimulai dari melakukan studi
pendahuluan. Pada kegiatan ini juga mendiskusikan cara melakukan tindakan
pembelajaran dan bagaimana cara melakukan pengamatannya.

B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat yang digunakan sebagai penelitian mengenai implementasi
improving learning dengan teknik inquiry sebagai usaha meningkatkan
keaktifan belajar siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Sekolah ini
merupakan Sekolah Menengah Pertama yang termasuk kategori sekolah
Unggulan karena mendapatkan predikat The Favorite School. Peneliti
mengadakan penelitian di sini dengan pertimbangan sekolah ini belum
pernah dilakukan penelitian dengan judul yang sama dengan peneliti.
2. Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian direncanakan pada semester I, bulan Juni
2007 sampai dengan Desember 2007, secara terperinci sebagai berikut:
Tabel 3.1 Rincian waktu penelitian
Bulan pelaksanaan tahun 2007/2008
juni Juli Agustus September Oktober Nopember DesembeKegiatan r
penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Tahap persiapan
a. Kajian studi pustaka x x x
b. Pembuatan desain
penelitian
x x x
c. Konsultasi
rancangan penelitian
x x X x x
d. Perumusan
rancangan penelitian
x x X x x
2. Tahap Pelaksanaan
a. Perencanaan x x x x x x x x x x
b. Implementasi
tindakan
x x x x
c. Pengamatan kelas x x x x
d. Refleksi x x x x
e. Analisis dan
interprestasi data
x x x x x
f. Perumusan hasil x x x x x
3. Tahap Pelaporan
a. Penyusunan laporan x x x
b. Penulisan laporan x x x
c. Revisi dan editing x x x
d. Penggandaan data x x x
e. Penyetoran laporan x

C. Subjek Penelitian
Subjek yang melaksanakan tindakan dalam penelitian ini adalah
peneliti yang bekerjasama dengan guru matematika dan rekan sesama peneliti
sebagai observer, sedangkan subyek yang dikenai tindakan adalah siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta tahun ajaran 2007/2008. Dalam penelitian ini
dipilih satu kelas yaitu kelas VIIIC SMP Muhammdiyah 1 Surakarta.
Pemilihan dan penentuan subyek yang dikenai tindakan dalam penelitian ini
berdasarkan pada purposive sampling (sampel bertujuan), yaitu untuk
mengetahui peningkatan keaktifan siswa secara keseluruhan, karena menurut
guru tetap, siswa memiliki kemampuan akademik yang heterogen dan secara
keseluruhan berkemampuan sedang.
D. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan berbasis kelas kolaboratif. Suatu penelitian
yang bersifat praktis, situasional dan konteksual berdasarkan permasalahan
yang muncul dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di SMP. Kepala
sekolah, guru dan peneliti senantiasa berupaya memperoleh hasil yang optimal
melalui cara dan prosedur yang efektif sehingga dimungkinkan adanya
tindakan yang berulang-ulang dengan revisi untuk meningkatkan keaktifan
siswa.
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keaktivan siswa dalam
belajar matematika serta perolehan manfaat yang lebih baik. Kepala sekolah,
guru matematika dan penelitian dilibatkan sejak dialog awal sampai evaluasi.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu: 1) Dialog awal, 2)
Observasi awal, 3) Perencanaan tindakan, 4) Pelaksanaan tindakan 5)
Observasi dan monitoring, 6) Refleksi dan 7) Evaluasi.
Dialog awal
Observasi awal
Langkah-langkah penelitian untuk setiap siklus perlakuan
pembelajaran matematika diilustrasikan dalam siklus sebaga berikut:
Putaran I
Putaran II
Gambar 3.1
Proses Penelitian Tindakan
Sumber: Modifikasi sari Kemmis dan MC Taggart (Sutama, 2000: 92)
Perencanaan Tindakan I
Evaluasi Observasi dan monitoring
Refleksi
Pengertian dan pemahaman
Tindakan II
Observasi dan monitoring
Perencanaan terevisi
Refleksi
Pengertian dan pemahaman
Evaluasi
Seterusnya sesuai dengan alokasi waktu harapan
tindakan yang direncanakan
1 Dialog awal
Dialog awal dilakukan peneliti, guru matematika dan kepala sekolah
pada hari Senin, 22 Oktober 2007. Dalam dialog awal didiskusikan
mengenai masalah yang muncul dalam pembelajaran terutama yang
berkaitan dengan keaktivan siswa. Dari dialog tersebut peneliti
menyimpulkan bahwa kurangnya keaktivan siswa selama pembelajaran
dikarenakan (1) siswa malu untuk aktif, (2) siswa takut salah ketika
hendak menjawab suatu pertanyaan, (3) keaktivan yang dilakukan oleh
siswa lebih cenderung pada hal yang negative. Selain itu dalam dialog
awal juga telah disepakati kelas yang akan dipakai untuk tindakan yaitu
kelas VIIIC, materi yang akan diajarkan adalah Sistem Persamaan Linier
Dua Variabel serta yang akan melakukan tindakan adalah peneliti sendiri
sedangkan guru matematika sebagai observer yang dibantu oleh satu rekan
sesama peneliti.
Peserta dialog juga membicarakan model dan alternatif
pembelajaran yang akan dipraktekkan dan dikembangkan dalam rangka
meningkatkan keaktivan siswa. Dialog ini menyepakati penanganan
masalah peningkatan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika
melalui improving learning dengan teknik inquiry.
2 Observasi awal
Observasi awal dilakukan oleh peneliti pada tanggal 6 November
2007 dengan cara mengamati pembelajaran yang dilakukan oleh guru
matematika sebelum dikenalkan improving learning dengan teknik
inquiry. Hal ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung
permasalahan yang muncul selama pembelajaran terutama yang berkaitan
dengan keaktivan siswa sebelum diterapkan teknik inquiry.
Metode yang digunakan guru matematika dalam pembelajaran
sangat berbeda dengan inquiry dan lebih cenderung pada metode drill
(latihan soal). Dari hasil observasi ditemukan beberapa permasalahan baru
mengenai keaktivan siswa dan tindak mengajar, yaitu (1) siswa hanya
akan merespon pertanyaan dari guru jika ditunjuk, (2) guru tidak
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan, dan
(3) banyak siswa yang tidak mengerjakan soal yang diberikan oleh guru.
Selama pembelajaran siswa yang bertanya sebanyak satu anak, yang
menjawab pertanyaan sebanyak sepuluh anak (dengan ditunjuk oleh guru),
yang berani maju ke depan sebanyak empat anak dan yang mengerjakan
soal sebanyak 20 anak. Siswa yang mengikuti pelajaran sebanyak 38 anak.
3 Perencanaan Tindakan
Langkah-langkah persiapan yang dilakukan untuk mengadakan
tindakan terdiri dari:
a. Identifkasi Masalah dan Penyebabnya
Berdasarkan dialog awal dan observasi awal, peneliti
merumuskan permasalahan siswa terutama yang berhubungan dengan
keaktivan selama pembelajaran. Permasalahan tersebut antara lain, (1)
siswa malu dan takut salah ketika hendak menjawab pertanyaan atau
maju ke depan kelas, (2) siswa bersedia untuk aktif jika ditunjuk oleh
guru dan (3) siswa malas untuk mengerjakan soal latihan.
Munculnya masalah keaktivan tersebut disebabkan karena siswa
kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran serta siswa kurang
dibiasakan untuk bersikap aktif dalam belajar.
b. Perencanaan Solusi Masalah
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah peningkatan
keaktivan siswa dalam pembelajaran matematika adalah menerapkan
improving learning dengan menggunakan teknik inquiry. Karena
dalam inquiry siswa diarahkan untuk dapat menemukan jawaban atas
pertanyaanya sendiri sehingga mereka akan terlibat secara langsung
dalam pembelajaran.
c. Pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Pembuatan RPP bertujuan untuk merancang pembelajaran
inquiry yang akan diterapkan pada tindakan. RPP disahkan oleh guru
matematika serta pembimbing I dan pembimbing II. Tindakan akan
dilaksanakan berdasarkan RPP yang telah dibuat, namun dalam
pelaksanaanya tidak mutlak dikendalikan oleh RPP karena berbagai
kemungkinan bisa terjadi dalam kondisi nyata. Oleh karena itu
rencana tindakan harus bersifat tentatif dan sementara, fleksibel dan
siap diubah sesuai dengan kondisi yang ada sebagai usaha kearah
perbaikan. Proses pembuatan RPP menghabiskan waktu selama dua
minggu.
4 Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan dilaksanakan selama dua minggu terbagi
dalam tiga putaran. Tindakan dilaksanakan berdasarkan perencanaan,
namun tindakan tidak mutlak dikendalikan oleh rencana. Perencanaan
lebih bersifat fleksibel dan siap diubah sesuai dengan kondisi yang ada
sebagai usaha kearah perbaikan. Pelaksanaan tindakan dilaksanakan
selama dua minggu terbagi dalam tiga putaran.
a. Putaran Pertama
Indikator pembelajaran pada putaran pertama yaitu menyebutkan
perbedaan PLDV dan SPLDV. Keaktifan siswa ditingkatkan dengan
cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengarahkan
siswa untuk menemukan jawaban atas pertanyaanya sendiri.
Proses pembelajaran dimulai dengan merumuskan permasalahan
yang akan diselesaikan yaitu mencari perbedaan PLDV dan SPLDV.
Dari rumusan tersebut guru mengarahkan siswa untuk mencari
jawabanya, yaitu dengan memberikan contoh-contoh PLDV dan
SPLDV kemudian meminta siswa untuk mencari himpunan
penyelesaianya dengan metode grafik. Dari proses tersebut siswa akan
menemukan perbedaan PLDV dan SPLDV dari segi bentuk umum,
banyaknya penyelesaian serta gambar grafiknya.
b. Putaran Kedua
Pada putaran kedua ini indikator pembelajaranya yaitu
menyelesaika SPLDV dengan metode substitusi. Untuk meningkatkan
keaktian siswa dilakuakan dengan cara memancing siswa untuk
menemukan langkah-langkah penyelesaian SPLDV dengan cara
substitusi dengan kata-katanya sendiri.
Pembelajaran dimulai dengan memberikan contoh SPLDV
kemudian menjelaskan pada siswa cara menyelesaikanya dengan
metode substitusi. Dari contoh tersebut siswa diminta untuk membuat
langkah-langkah menyelesaikan SPLDV dengan metode substitusi
dengan kata-katanya sendiri. Setelah itu salah satu siswa diminta untuk
mempreentasikan di depan dan guru menyempurnakan langkahlangkah
yang telah dibuat oleh siswa.
c. Putaran Ketiga
Pada putaran III ini indikator pembelajaranya yaitu menyelesaika
SPLDV dengan metode eliminasi. Untuk meningkatkan keaktian siswa
dilakuakan dengan cara memancing siswa untuk menemukan langkahlangkah
penyelesaian SPLDV dengan cara eliminasi dengan katakatanya
sendiri.
Pembelajaran dimulai dengan memberikan contoh SPLDV
kemudian menjelaskan pada siswa cara menyelesaikanya dengan
metode eliminasi. Dari contoh tersebut siswa diminta untuk membuat
langkah-langkah menyelesaikan SPLDV menggunakan metode
eliminasi dengan kata-katanya sendiri. Setelah itu salah satu siswa
diminta untuk mempresentasikan di depan dan bersama siswa guru
menyempurnakan langkah-langkah yang telah dibuat oleh siswa.
5 Observasi dan Monitoring
Observasi berperan dalam upaya perbaikan praktek profesional
melalui pemahaman yang lebih baik dan perencanaan tindakan yang lebih
kritis.
Kegiatan ini dilakukan oleh guru matematika dan rekan sesama
peneliti dengan dibekali lembar pengamatan menurut aspek-aspek
identifikasi, waktu pelaksanaan, pendekatan, metode dan tindakan yang
dilakukan peneliti, tingkah laku siswa serta kelemahan dan kelebihan yang
ditemukan.
6 Refleksi
Dalam pengambilan keputusan secara efektif perlu dilakukan
refleksi yaitu merenungkan apa yang telah terjadi dan tidak terjadi.
Mengapa segala sesuatu terjadi dan atau tidak terjadi pada observasi
implementasi tindakan serta mencari solusi atau jalan alternatif lainnya
yang perlu ditempuh pada perencanaan tindakan selanjutnya.
Hasil refleksi itu digunakan untuk menetapkan lebih lanjut dalam
upaya mencapai tujuan penelitian. Kegiatan refleksi ini dilakukan setiap
akhir pembelajaran matematika, tetapi secara informal dapat dilakukan
dialog menangani masalah yang muncul.
7 Evaluasi
Kegiatan ini sebagai proses pengumpulan data, mengolah data dan
menyajikan informasi sehingga bermanfaat untuk pengambilan keputusan
tindakan. Evaluasi diarahkan pada penemuan bukti-bukti peningkatan
keaktifan siswa belajar matematika yang terjadi setelah suatu tindakan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian bersumber dari interaksi guru dan siswa dalam
pembelajaran matematika dan berupa data tindakan belajar atau perilaku
belajar yang dihasilkan dari tindakan yang mengajar. Untuk mengumpulkan
data, penelitian ini menggunakan :
1 Metode Pokok
Metode pokok adalah metode utama yang digunakan dalam
pengumpulan data yang kemudian diolah dan dianalisis. Metode pokok
meliputi observasi dan catatan lapangan. Observasi adalah suatu teknik
yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti dan
sistematis (Suharsimi Arikunto, 1998:28). Pengumpulan data melalui
observasi dilakukan oleh peneliti, guru matematika dan rekan sesama
peneliti pada kelas yang dijadikan sebagai subyek penelitian untuk
mendapatkan gambaran secara langsung kegiatan belajar mengajar
dikelas. Catatan lapangan digunakan untuk mencatat temuan selama
pembelajaran yang diperoleh peneliti yang tidak teramati dalam lembar
observasi, bentuk temuan ini berupa aktivitas siswa dan permasalahan
yang dihadapi selama pembelajaran.
2 Metode Bantu
Metode bantu dalam penelitian ini adalah berupa metode wawancara
dan dokumentasi. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu
(Moleong, 2002 : 135). Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam penelitian ini,
wawancara yang digunakan adalah wawancara tak terstruktur dimana
sebagai pewawancara adalah peneliti dan yang diwawancarai adalah
kepala sekolah, guru matematika dan staf karyawan. Pertanyaan yang
diajukan lebih bersifat bebas, tetapi yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan
melihatnya dalam dokumen-dokumen yang telah ada (budiyono, 2003 :
54). Dokumen merupakan suatu metode untuk memperoleh data dengan
melihat dari buku-buku, arsip atau catatan yang berhubungan dengan
orang yang diteliti.
F. Instrumen Penelitian
1 Definisi Operasional Variabel
a. Improving Learning
Improving learning adalah pembelajaran yang lebih
mengaktifkan siswa belajar. Dalam penelitian ini, untuk melaksanakan
pembelajaran dengan improving learning digunakan teknik inquiry.
44
b. Teknik inquiry
Teknik inquiry adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di
mana kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu persoalan
atau mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu
prosedur dan struktur kelompok yang digariskan secara jelas
c. Meningkatkan
Pada penelitian ini yang dimaksudkan meningkatkan adalah
usaha untuk menjadikan lebih baik sesuai dengan kondisi yang dapat
diciptakan atau diusahakan melalui pelaksanaan belajar mengajar
dikelas, khususnya pada pelajaran matematika guna meningkatkan
keaktivan siswa.
d. Keaktivan
Keaktivan yang dimaksudkan adalah keberanian siswa untuk
bertanya, keberanian siswa untuk menjawab pertanyaan, keberanian
siswa untuk maju ke depan dan keaktivan siswa untuk mengerjakan
latihan soal pada waktu pembelajaran matematika.
e. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika adalah kegiatan belajar mengajar
matematika dikelas yang melibatkan siswa, guru, materi ajar
matematika dan lingkungan belajar. Pada pembelajaran matematika
siswa sebagai subyek sedangkan guru berfungsi sebagai pembimbing,
pemotifasi dan pengelola kegiatan belajar.
45
2 Pengembangan Instrumen
Instrumen penelitian dikembangkan oleh peneliti bersama mitra
guru matematika, dengan menjaga validitas isi. Berdasarkan cara
pelaksanaan dan tujuan, penelitian ini menggunakan observasi. Dalam
melakukan observasi, menggunakan pedoman observasi (terlampir).
Pedoman ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
a. Observasi tindak mengajar yang berkaitan dengan metode yang
digunakan guru dalam mengajar.
b. Observasi tindak belajar yang beraitan dengan keaktifan siswa dalam
pembelajaran matematika.
c. Keterangan tambahan yang berkaitan dengan tindak mengajar maupun
tindak belajar yang belum tercapai.
Jadi dapat disimpulkan bahwa instrumen penelitian adalah suatu alat
yang digunakan untuk mengukur fenomena alam ataupun sosial yang
diamati.
3 Validitas Isi Instrumen
Untuk menjamin pemantapan dan kebenaran data yang dikumpulkan
dan dicatat dalam penelitian, maka dipilih dan ditentukan cara-cara yang
tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Dalam
penelitian ini akan digunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data tersebut (Moleong, 1998:178).
Penelitian ini menggunakan triangulasi penyelidikan dengan jalan
memanfaatkan peneliti untuk penguatan atau pengecekan kembali derajat
kepercayaan data. Pemanfaatan pengamatan lainnya dalam hal ini adalah
guru matematika kelas VIII, rekan sesama peneliti dan kepala sekolah itu
sendiri yang dapat membantu mengulangi kemenangan dalam
pengumpulan data.
G. Teknik Analisis Data
Pada penelitian tindakan kelas ini, data dianalisis sejak tindakan
pembelajaran dilakukan dan dikembangkan selama proses refleksi sampai
proses penyusunan laporan. Untuk kesinambungan dan kedalaman dalam
pengajaran data dalam penelitian ini digunakan analisis interaktif. Data
dianalisis secara diskriptif kualitatif dengan analisis interaktif yang terdiri dari
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dilakukan dalam
bentuk interaktif dengan pengumpulan data sebagai suatu proses siklus.
Menurut M. B. Miles (1992 : 20) proses analisis interaktif dapat digambarkan
dalam skema berikut:
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan Kesimpulan
Gambar 3.2 Proses Analisis Interaktif
Reduksi data adalah kegiatan pemilihan data, penyederhanaan data
serta transformasi data kasar dari hasil catatan lapangan. Penyajian data
berupa sekumpulan informasi dalam bentuk tes naratif yang disusun, diatur
dan diringkas sehingga mudah dipahami, dilakukan secara bertahap dari
kesimpulan sementara kemudian dilakukan penyimpulan dengan cara diskusi
bersama mitra kolaborasi.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta : Rineka Cipta.
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta. Sebelas MAret
University Press.
Eti Rohaeti, Euis. 2004. Pembelajaran Dengan Metode Improve Untuk
Meningkatkan Pemahaman Dan Kemampuan Komunikasi Matematika
Siswa SLTP. http:llpps.upy.edu/org/abstrakthesis/abstrakmat/abstrakmat
04.html.
Glover, Derek dan Sue Law. 2005. Improving Learning, Jakarta: Grasindo.
Herman, Hudoyo. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan
Pelaksanaannya Di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
http://Upik.jogja.go.id/news (Diakses pada tanggal 21 November 2007)
http://www.ayub.net/mjlh-isi.php?news (Diakses pada tanggal 28 Juni 2007)
http://id.wikipedia.org/wiki/ (Diakses pada tanggal 28 Juni 2007)
http://www.ialf.edu/bipa/jan2003/efektivitaspengajaranmenulis.html (Diakses
pada tanggal 21 November 2007)
http://www.puskur.net/index.php?menu=profile&pro=113&iduser=5 (Diakses
pada tanggal 28 Juni 2007)
http://www.duniaguru.com/index.php (Diakses pada tanggal 5 Juli 2007)
http://klinikpembelajaran.com//layanan_01.html. (Diakses pada tanggal 5 Juli
2007)
http://www.depdiknas.go.id/jurnal%40/pembelajaran%20matematika%menurut%t
eori%belajar%konstruktivisme.html (Diakses pada tanggal 5 Juli 2007)
http://www.isbogor.org/PYP (Diakses pada tanggal 28 Juni 2007)
http://pasca.uns.ac.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=81.
(Diakses pada tanggal 21 November 2007)
77
Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif :
Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta : UI-Press.
Moleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Subandriyo, B. 2006. Studi Tentang Keefektifan Metode Inkuiri dalam
Pembelajaran Matematika Ditinjau dari Sikap Percaya Diri Siswa. Tesis.
Surakarta: UNS.
Sularmi. 2006. Perbedaan Pengaruh Metode Inquiry-Discovery Dan Konvensional
Terhadap Prestasi Belajar IPA Ditinjau Dari Motivasi Belajar Pada Siswa
Sekolah Dasar Negeri. Tesis. Surakarta: UNS.
Susilo. 2007. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta : Pustaka.
Sutama. 2000. Peningkatan Efektifitas Pembelajaran Matematika Melalui
Pembenahan Gaya Mengajar Guru di SLTP Negeri 18 Surakarta. Tesis.
Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UMY (tidak dipublikasikan).
Tim Pustaka Yustisia. 2007. Panduan Lengkap KTSP. Jakarta: Pustaka Yustisia.
Widyastuti, Wahyu. 2003. Eksperimentasi Pengajaran Matematika Dengan
Metode Penemuan Melalui Tanya Jawab Pada Pokok Bahasan Teorema
Pythagoras ditinjau Dari Aktifitas Belajar. Skripsi. Surakarta: UMS (tidak
diterbitkan)